Saat aku tamat SMP dan harus melanjutkan sekolah kau mengantarku ke kapal. Saat itu kita hanya akan terpisah pulau, Nek, tapi membayangkan bagaimana hidup tanpa sosokmu sangat menyakitkan-bahkan untuk aku yang saat itu masih bocah. Dari jendela kapal aku menangis sambil memanggil-manggilmu, saat itu aku bahkan ingin melompat dari atas kapal karena tak ingin berpisah darimu. Sementara kau di atas pelabuhan menyeka air matamu.
Sekarang, kita tak hanya terpisah pulau. Kita terpisah amat jauh, nek. Terlalu jauh.
Rasa sakit dulu saat berpisah denganmu karena harus bersekolah kini seperti dilipatgandakan. Karena perpisahan kita kini bukan hanya sementara, bukan hanya dalam hitungan hari atau tahun, tapi selamanya. Tak ada kesempatan untuk bertemu denganmu lagi, melihatmu, atau sekadar menelepon.
Besok tepat sebulan kau pergi, nek. Tapi setiap bangun tidur aku masih seperti melihatmu di sampingku. Menungguku bangun.
Rasanya seperti baru kemarin kau mengelus-elus punggungku. Rasanya seperti baru kemarin kau tersenyum karena melihatku datang. Seperti baru kemarin kau bersandar padaku karena tak mampu lagi bangun. Seperti baru kemarin aku menggunting kukumu, memijatmu.
Aku tidak pernah menyangka bahwa itu adalah senyum terakhirmu untukku, Nek. Aku tidak pernah menyangka bahwa malam itu adalah malam terakhir aku berbaring di sampingmu. Aku tidak pernah menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir kita.
Comments