"Apa itu jatuh hati, Kak?
Apa itu sebuah penyakit? Kenapa hati bisa jatuh, Kak?"
Aku menghentikan Mike Mohede
menyanyikan lagunya yang berjudul Jatuh Hati di laptopku. Kualihkan pandanganku
pada gadis kecil berkepang dua yang sedang menggambar tepat di depanku. Satu
jam yang lalu dan Ia baru saja menyelesaikan gambar bebeknya yang berleher
panjang seperti jerapah, dua kaki yang panjang sebelah, masing-masing kaki
mendapat bonus dua jari, jadilah bebek berjari-jari sepuluh, berekor seperti
ekor Shaun-domba dalam serial kartun Shaun the Sheep. Benar-benar tidak ada
bakat menggambar sama sekali. Sama sepertiku. Ia meletakkan pensil gambarnya
lalu menatapku, menunggu jawaban atas pertanyaannya.
"Jatuh hati itu kata lain
dari rasa suka. Dan itu bukan penyakit, Yaya" Ia kelihatannya tidak
memahami jawabanku barusan.
"Ini tas baru yang kemarin
dibeliin sama Mama, kan, waktu jalan ke mall?" Aku menunjuk sebuah tas
yang berada di sampingnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.
"Di mall kemarin pasti ada
banyak tas, ya?"
"Banyaaaaaaaaaak bangat,
Kak. Tapi, Yaya suka sama tas yang ini karena ada tempat pensilnya sendiri
terus udah ada pensil di dalamnya. Terus, ada gambarnya Princess Anna dan
Princess Elsa. Terus lagi kak, Yaya juga dapat botol air minum yang ada gambar
Olaf-nya ini". Adikku tampak bersemangat menjawab pertanyaanku, memamerkan
tas barunya.
"Itu yang namanya jatuh
hati, Yaya. Ada banyak sekali tas yang Yaya lihat, tapi cuma tas ini yang buat
Yaya jatuh hati. Cuma tas ini yang Yaya suka" Ia mengernyitkan dahinya.
Tampaknya masih ada yang mengganjal di pikirannya.
"Sebenarnya, Kak. Yaya jatuh
hati sama dua tas. Kan ada dua tas yang begini. Satunya warna biru dan satunya
lagi warna pink. Yaya mau dua-duanya tapi sama mama gak dibolehin. Yaya kan
jatuh hati sama dua-duanya kenapa cuma dapet satu?. Kan gak asik, kak?."
Ia curhat sambil memasang tampang cemberut. Aku tersenyum mendengarnya.
"Beli es krim, yuk?"
Tawarku padanya
"Ayuuuk, Yaya juga jatuh
hati sama es krim. Tapi pakai uangnya Kakak, kan? Soalnya uang jajan Yaya udah
habis" Aku tertawa lalu mengangguk mengiyakan.
*** *** *** *** ***
Aku duduk di bangku panjang tepat
di depan gedung fakultasku. Belum begitu ramai, hanya ada beberapa junior yang
dengan ramah menyapaku sambil memberikan senyum terbaik mereka. Aku tersenyum
dan membalas menyapa. Hari ini Aku memang sengaja datang lebih awal ke kampus
karena ingin meminjam buku di perpustakaan.
Baru saja ingin meneguk minuman
kaleng yang kubeli di kantin kampus tadi, aku dikagetkan oleh nada pesan masuk
dari handphoneku. Tawaran paket nelpon gratis dari Telkomsel. Aku tertawa dalam
hati, menertawakan diriku sendiri. Buku yang barusan kupinjam dari perpustakaan
segera ku keluarkan dari tas cokelatku. Tak lupa headset untuk nanti mendengarkan
lagu sambil membaca. Masih ada lima belas menit sebelum kuliah di mulai.
Nada pesan masuk berdering lagi
di handphoneku. Aku mengintip layar handphone yang ku letakkan di sampingku,
memastikan kali ini bukan pesan dari Telkomsel. Aku menutup buku yang kubaca.
Jantungku berdegup kencang ketika melihat namanya tertulis di sana. Nama
'seseorang yang lain'. Ya, seseorang yang lain yang ku ceritakan pernah membuat
hatiku berdebar kembali saat aku mencoba melupakan seseorang itu. Seseorang
yang lain yang menumbuh kembalikan keyakinanku atas perasaan itu setelah mati
karena seseorang itu.
"Kamu di mana, Ri?"
Pesannya singkat seperti biasa.
Aku membacanya berulang-ulang. Aku memutuskan untuk tidak membalasnya segera.
"Aku belum bisa masuk hari
ini karena masih ada urusan. Salam di teman-teman, ya."
Aku di sisi lain senang karena
tidak akan bertemu dengannya hari ini: aku mungkin tidak akan bisa
menyembunyikan kekecewaanku padanya. Di sisi lain aku juga benci membaca
pesannya barusan. 'Masih ada urusan'. Pesan yang sama semenjak sebulan terakhir.
Bahkan sebelum aku liburan ke daerahku. Kenapa Ia tidak berterus terang saja
padaku? Apa Ia pikir dengan pesan 'masih ada urusan'nya bisa menyembunyikan
semuanya dariku? Kenapa aku harus tahu lewat orang lain? Apa alasannya, kenapa
Ia tidak mengatakan saja kalau Ia....Argggh!
"Ooh iya. Nanti Saya
sampaikan ke teman-teman" Aku menggunakan 'Saya' agar kedengaran lebih
formal.
Pesannya barusan menyadarkan aku
bahwa tidak lama lagi aku akan kehilangan seseorang dengan cara yang sama
seperti aku kehilangan 'seseorang itu' dulu. Itu artinya aku harus siap
mengobati luka yang sempat sembuh karena kehadirannya. Itu artinya aku harus menutup
kembali semua pintu hati yang kubuka untuknya yang pernah kututup sekian lamanya
karena 'seseorang itu' dulu. Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskannya
pelan. Sesak. Rasanya sama seperti ketika mengenang 'seseorang itu' di bawah
pohon sukun dulu. Aku mengasihani diriku sendiri.
Aku membuka kembali buku yang
tadi kupinjam dari perpustakaan. Letak headset di telingaku kuperbaiki. Aku
menaikkan volume lagu yang kudengar. Mencoba melupakan bayangannya. Aku ingin
mengenyahkan ingatanku tentang bagaimana aku pertama kali bertemu dengannya
dulu. Aku ingin membuang jauh-jauh bayangan tentang wajahnya yang tersenyum.
Aku tidak ingin mengingat apapun tentangnya saat ini.
"Tak pernah ku duga saat redup hati
kau hidupkan api cinta yang lama menghilang
kembali ku rasakan arti hidup ini
nafasmu mengisi relung hati
aku telah jatuh hati kepadamu"
Suara Mike Mohede yang merdu
terdengar seperti sindiran untukku. Lagu
ini mengingatkanku dengan obrolan bersama adikku, Yaya, beberapa hari lalu. Aku
segera menghentikan bacaanku. Wajah 'seseorang itu' dan 'seseorang yang lain'
terbayang jelas di mataku.
Bukan salah Yaya ketika Ia harus
jatuh hati pada dua tas sekaligus. Dan aku. Apa aku salah ketika hatiku jatuh
untuk dua orang yang berbeda? Aku bahkan tidak pernah mengira itu bisa terjadi.
Aku bahkan tidak pernah menginginkan itu. Bukankah tidak ada orang yang bisa
memilih kepada siapa hatinya harus jatuh? Bukankah tidak ada orang yang tahu dengan
siapa hatinya akan berlabuh?
Yaya boleh dibilang beruntung karena
setidaknya bisa memiliki satu tas yang Ia sukai. Bahkan Ia bisa mengatakan pada
mama Ia menyukai kedua tas itu meskipun pada akhirnya hanya satu yang boleh Ia
miliki.
Aku?
Aku tidak bisa memiliki keduanya.
Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengakui perasaanku pada mereka. Aku
seperti orang bodoh yang mengharapkan mereka tahu perasaanku tanpa
mengatakannya. Aku seperti orang bodoh yang harus terluka karena alasan yang
sama dengan cara yang sama.
Kulepaskan headset dari telinga
dan mencopotnya dari handphoneku, menutup buku, mengisi semuanya ke dalam
tasku. Aku tidak berniat ke ruangan untuk memberitahukan teman-teman bahwa
tidak ada kuliah hari ini. Aku menuju parkiran motor. Baru saja kuhidupkan
mesin motorku, handphoneku berdering. Nada telpon masuk. Dia menelpon.
Aku memutuskan untuk tidak
mengangkatnya. Aku harus pulang...

Comments