Skip to main content

LUKA KEDUA



"Apa itu jatuh hati, Kak? Apa itu sebuah penyakit? Kenapa hati bisa jatuh, Kak?"

Aku menghentikan Mike Mohede menyanyikan lagunya yang berjudul Jatuh Hati di laptopku. Kualihkan pandanganku pada gadis kecil berkepang dua yang sedang menggambar tepat di depanku. Satu jam yang lalu dan Ia baru saja menyelesaikan gambar bebeknya yang berleher panjang seperti jerapah, dua kaki yang panjang sebelah, masing-masing kaki mendapat bonus dua jari, jadilah bebek berjari-jari sepuluh, berekor seperti ekor Shaun-domba dalam serial kartun Shaun the Sheep. Benar-benar tidak ada bakat menggambar sama sekali. Sama sepertiku. Ia meletakkan pensil gambarnya lalu menatapku, menunggu jawaban atas pertanyaannya.

"Jatuh hati itu kata lain dari rasa suka. Dan itu bukan penyakit, Yaya" Ia kelihatannya tidak memahami jawabanku barusan. 
"Ini tas baru yang kemarin dibeliin sama Mama, kan, waktu jalan ke mall?" Aku menunjuk sebuah tas yang berada di sampingnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.
"Di mall kemarin pasti ada banyak tas, ya?"
"Banyaaaaaaaaaak bangat, Kak. Tapi, Yaya suka sama tas yang ini karena ada tempat pensilnya sendiri terus udah ada pensil di dalamnya. Terus, ada gambarnya Princess Anna dan Princess Elsa. Terus lagi kak, Yaya juga dapat botol air minum yang ada gambar Olaf-nya ini". Adikku tampak bersemangat menjawab pertanyaanku, memamerkan tas barunya.
"Itu yang namanya jatuh hati, Yaya. Ada banyak sekali tas yang Yaya lihat, tapi cuma tas ini yang buat Yaya jatuh hati. Cuma tas ini yang Yaya suka" Ia mengernyitkan dahinya. Tampaknya masih ada yang mengganjal di pikirannya.
"Sebenarnya, Kak. Yaya jatuh hati sama dua tas. Kan ada dua tas yang begini. Satunya warna biru dan satunya lagi warna pink. Yaya mau dua-duanya tapi sama mama gak dibolehin. Yaya kan jatuh hati sama dua-duanya kenapa cuma dapet satu?. Kan gak asik, kak?." Ia curhat sambil memasang tampang cemberut. Aku tersenyum mendengarnya.
"Beli es krim, yuk?" Tawarku padanya
"Ayuuuk, Yaya juga jatuh hati sama es krim. Tapi pakai uangnya Kakak, kan? Soalnya uang jajan Yaya udah habis" Aku tertawa lalu mengangguk mengiyakan.

  ***               ***                ***                ***                ***
Aku duduk di bangku panjang tepat di depan gedung fakultasku. Belum begitu ramai, hanya ada beberapa junior yang dengan ramah menyapaku sambil memberikan senyum terbaik mereka. Aku tersenyum dan membalas menyapa. Hari ini Aku memang sengaja datang lebih awal ke kampus karena ingin meminjam buku di perpustakaan. 

Baru saja ingin meneguk minuman kaleng yang kubeli di kantin kampus tadi, aku dikagetkan oleh nada pesan masuk dari handphoneku. Tawaran paket nelpon gratis dari Telkomsel. Aku tertawa dalam hati, menertawakan diriku sendiri. Buku yang barusan kupinjam dari perpustakaan segera ku keluarkan dari tas cokelatku. Tak lupa headset untuk nanti mendengarkan lagu sambil membaca. Masih ada lima belas menit sebelum kuliah di mulai.

Nada pesan masuk berdering lagi di handphoneku. Aku mengintip layar handphone yang ku letakkan di sampingku, memastikan kali ini bukan pesan dari Telkomsel. Aku menutup buku yang kubaca. Jantungku berdegup kencang ketika melihat namanya tertulis di sana. Nama 'seseorang yang lain'. Ya, seseorang yang lain yang ku ceritakan pernah membuat hatiku berdebar kembali saat aku mencoba melupakan seseorang itu. Seseorang yang lain yang menumbuh kembalikan keyakinanku atas perasaan itu setelah mati karena seseorang itu.

"Kamu di mana, Ri?"

Pesannya singkat seperti biasa. Aku membacanya berulang-ulang. Aku memutuskan untuk tidak membalasnya segera.

"Aku belum bisa masuk hari ini karena masih ada urusan. Salam di teman-teman, ya."

Aku di sisi lain senang karena tidak akan bertemu dengannya hari ini: aku mungkin tidak akan bisa menyembunyikan kekecewaanku padanya. Di sisi lain aku juga benci membaca pesannya barusan. 'Masih ada urusan'. Pesan yang sama semenjak sebulan terakhir. Bahkan sebelum aku liburan ke daerahku. Kenapa Ia tidak berterus terang saja padaku? Apa Ia pikir dengan pesan 'masih ada urusan'nya bisa menyembunyikan semuanya dariku? Kenapa aku harus tahu lewat orang lain? Apa alasannya, kenapa Ia tidak mengatakan saja kalau Ia....Argggh!

"Ooh iya. Nanti Saya sampaikan ke teman-teman" Aku menggunakan 'Saya' agar kedengaran lebih formal.

Pesannya barusan menyadarkan aku bahwa tidak lama lagi aku akan kehilangan seseorang dengan cara yang sama seperti aku kehilangan 'seseorang itu' dulu. Itu artinya aku harus siap mengobati luka yang sempat sembuh karena kehadirannya. Itu artinya aku harus menutup kembali semua pintu hati yang kubuka untuknya yang pernah kututup sekian lamanya karena 'seseorang itu' dulu. Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskannya pelan. Sesak. Rasanya sama seperti ketika mengenang 'seseorang itu' di bawah pohon sukun dulu. Aku mengasihani diriku sendiri.

Aku membuka kembali buku yang tadi kupinjam dari perpustakaan. Letak headset di telingaku kuperbaiki. Aku menaikkan volume lagu yang kudengar. Mencoba melupakan bayangannya. Aku ingin mengenyahkan ingatanku tentang bagaimana aku pertama kali bertemu dengannya dulu. Aku ingin membuang jauh-jauh bayangan tentang wajahnya yang tersenyum. Aku tidak ingin mengingat apapun tentangnya saat ini.

"Tak pernah ku duga saat redup hati
kau hidupkan api cinta yang lama menghilang
kembali ku rasakan arti hidup ini
nafasmu mengisi relung hati

aku telah jatuh hati kepadamu"

Suara Mike Mohede yang merdu terdengar seperti sindiran untukku.  Lagu ini mengingatkanku dengan obrolan bersama adikku, Yaya, beberapa hari lalu. Aku segera menghentikan bacaanku. Wajah 'seseorang itu' dan 'seseorang yang lain' terbayang jelas di mataku.

Bukan salah Yaya ketika Ia harus jatuh hati pada dua tas sekaligus. Dan aku. Apa aku salah ketika hatiku jatuh untuk dua orang yang berbeda? Aku bahkan tidak pernah mengira itu bisa terjadi. Aku bahkan tidak pernah menginginkan itu. Bukankah tidak ada orang yang bisa memilih kepada siapa hatinya harus jatuh? Bukankah tidak ada orang yang tahu dengan siapa hatinya akan berlabuh?

Yaya boleh dibilang beruntung karena setidaknya bisa memiliki satu tas yang Ia sukai. Bahkan Ia bisa mengatakan pada mama Ia menyukai kedua tas itu meskipun pada akhirnya hanya satu yang boleh Ia miliki.

Aku?

Aku tidak bisa memiliki keduanya. Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengakui perasaanku pada mereka. Aku seperti orang bodoh yang mengharapkan mereka tahu perasaanku tanpa mengatakannya. Aku seperti orang bodoh yang harus terluka karena alasan yang sama dengan cara yang sama.

Kulepaskan headset dari telinga dan mencopotnya dari handphoneku, menutup buku, mengisi semuanya ke dalam tasku. Aku tidak berniat ke ruangan untuk memberitahukan teman-teman bahwa tidak ada kuliah hari ini. Aku menuju parkiran motor. Baru saja kuhidupkan mesin motorku, handphoneku berdering. Nada telpon masuk. Dia menelpon.

Aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Aku harus pulang...

Comments

Popular posts from this blog

Home is My Favorite Word

  Salah satu kata favoritku dalam bahasa inggris adalah ‘home’ yang berarti rumah. Memang kata rumah dalam bahasa inggris bukan hanya ‘home’, ada ‘house’ juga. Yang menjadi pembeda, saat kita bilang ‘house’ maka artinya hanya sebatas ‘bangunan fisik’ yang kita tempati. Tidak lebih. Sedangkan saat kita bilang ‘home’ kita tidak hanya bicara tentang bangunan fisik, kita bicara tentang perasaan. ‘Home’ berarti perwujudan apapun yang membuat kita nyaman dan menemukan cinta. Maka itu bisa tempat, bangunan, atau bahkan orang. Selama kita merasa nyaman. Selama kita merasa aman. Selama kita merasa dicintai. Selama kita bisa menjadi diri kita sendiri tanpa khawatir dinilai. Selama kita bahagia. Maka tidak penting dalam bentuk apapun, itu adalah ‘home’. Ketika seseorang bilang ke kita “you are my home” atau “you feel like home to me”, bagiku itu adalah bentuk penghargaan tertinggi.

Kenangan

  Aku biasanya berbaring di sampingmu. Semenjak kecil. Mendengarkanmu bercerita banyak hal. Apa saja, termasuk keinginan-keinginan sederhanamu. Terlalu sederhana. Seperti saat kau memintaku untuk membelikanmu sebuah sandal yang nyaman untuk kau pakai di rumah. Kadang giliranmulah yang mendengarkan aku bercerita. Lebih tepatnya berkeluh kesah. Saat banyak hal menyakitkan terjadi. Saat hati sesak, penuh dengan beban. Mengobrol denganmu selalu menjadi obat. Saat jauhpun kita tidak pernah absen mengobrol. Saling menelepon menjadi rutinitas kita. Meskipun hanya beberapa menit. Kau bilang; “Yang penting kmalongo nik Alan ni suara do” Sekarang, hening. Tempat tidur yang biasanya kau tempati, di mana aku biasanya berbaring di sisimu, sekarang kosong. Kau tidak lagi di situ. Tidak ada lagi senandung-senandung kecilmu. Pun obrolan-obrolan kita. Aku tidak bisa lagi mendengarkan suaramu. Semesta memutuskan telepon kita. Padahal masih banyak yang ingin kuceritakan padamu, masih banyak yang ingi...

Review Jurnal - Etika Bisnis dan Profesi

PERAN PENTING ETIKA BISNIS BAGI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN INDONESIA DALAM BERSAING DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( https://www.jagakarsa.ac.id ) Jeffry H. Sinaulan (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tama Jagakarsa) DIREVIEW OLEH Fachran Nurdiansyah Arifin A.     LATAR BELAKANG Dengan berkembangnya dunia ekonomi tentunya pelaku ekonomi harus memerhatikan faktor-faktor terkait dengan perkembangan tersebut. Dalam perusahaan dibutuhkan perencanaan jangka panjang dan strategi yang tepat untuk dapat bersaing dalam persaingan global yang sangat ketat saat ini. Selain itu, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam perusahaan untuk dapat bersaing dalam perkembangan ekonomi saat ini adalah terkait dengan masalah “etika”. Etika sangatlah penting bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya juga dalam mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk yang dijual oleh perusahaan. Tentunya hal tersebut juga berpengaruh terhadap tingkat...