Aku bertemu dia hari
ini. Bukan, bukan 'seseorang yang lain' tapi 'seseorang itu'. Orang pertama
yang membuat aku jatuh cinta, orang pertama yang membuat aku membenci cinta.
Aku tidak pernah menyangka bertemu dia di sini, di tempat yang
mustahil-menurutku- untuk kami bisa bertemu. Rumahku.
Aku sempat kaget
melihatnya di depan pintu dan wajahnya juga menunjukkan hal yang sama. Kami
terdiam cukup lama, membiarkan keheningan membius kami. Aku bisa mendengar
degupan jantungku. Aku gugup.
"Hai..." Ia
tersenyum
"Nenek menitipkan
ini padaku untuk dikasih ke Mama kamu" Ia menyodorkan sebuah bingkisan
hitam padaku. Aku segera menerimanya.
"Haa.....haaai..."
Cuma 'hai', aku tidak tahu apa yang harus ku katakan.
"Mmmmm....eee...duduk
dulu" Aku mempersilahkannya duduk?
Di teras rumah ada dua
kursi besar berawarna putih yang menghadap ke jalan. Sebuah meja berbentuk
bulat juga berawarna putih ada di antara kedua kursi besar tersebut. Aku duduk
duluan di kursi yang paling dekat dengan pintu rumah. Ia melepaskan helmnya lalu
ikut duduk. Aku memberi kode; menunjuk helm lalu menunjuk meja. Ia meletakkan
helmnya di atas meja. Syukurlah Ia mengerti.
"Kamu baru
sampai?" Tanyaku padanya yang berbarengan dengan pertanyaannya tentang
bagaimana kabarku. Aku tertawa kecil. Ia juga.
"Jam 1 siang tadi.
Cuman karena keringetan jadi aku mandi dulu sebelum kesini" Ia menjawabnya
sambil melihat ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku darinya sembari
menganggukkan kepala.
"Aku baik-baik
saja" Aku menjawab pertanyaannya tadi. "Bagaimana kabarmu?"
Tanyaku padanya.
"Aku juga
baik-baik saja" Ia menjawab singkat. "Sudah lama, ya...?" Ia
melanjutkan berbicara. Kini giliranku melihat ke arahnya. Meski dari samping,
raut wajahnya nampak berubah. Jantungku di dalam sana berdetak semakin tak karuan.
Ia melihat ke arahku membuat kami saling bertatapan. Aku memaksakan kepalaku
agar menghadap ke depan menghindari tatapannya, tetapi tidak bisa.
Tidak ada yang tahu
kenapa hatiku masih bergetar untuknya. Bahkan aku sendiri. Aku tidak pernah
tahu kenapa aku bisa menyukainya. Aku tidak tahu kenapa hingga sekarang aku
masih memendam rasa untuknya.
"Semalam Nenek
mengantarkan kiriman ini ke rumah..."
Ia menunduk. Aku sedikit lega karena Ia akhirnya melepaskan pandangannya
dariku. Meski begitu aku masih menatap wajahnya "Aku kira kebetulan saja
hanya aku yang ke kota hari ini dan bisa dititipi kiriman untuk mama kamu. Aku
kira kamu kuliah jadi tidak mungkin akan ketemu kamu. Dan setelah sampai di
sini, aku tahu itu bukan kebetulan" Ia tersenyum kecut. Aku masih tetap
menatapnya yang sekarang melihat lurus ke jalanan. Pikiranku sibuk mencerna apa
yang dikatakannya barusan.
*** ***
*** *** ***
Memang, untuk berangkat
ke kota dari daerahku, orang harus menunggu hari Senin dan Kamis karena jadwal
kapal hanya ada pada hari-hari tersebut. Benar, tidak ada 'jalur darat'. Jadi
orang-orang di daerah yang akan berangkat ke kota biasanya cukup banyak karena
jadwal kapal hanya ada dua kali dalam seminggu.
Dan aku. Sebenarnya
tidak ada kuliah hari ini cuman aku harus mengembalikan buku yang kupinjam
seminggu yang lalu di perpustakaan. Tanggal peminjamannya sudah 'kadaluarsa'.
Siangnya aku ditelpon mama di suruh pulang karena jam 2 nanti mama ada arisan.
Sudah pasti Yaya ikut. Jadi tidak ada orang di rumah.
Setelah sampai di
rumah, pintu sudah dikunci. Katanya mama buru-buru jadi kunci rumah ditaruh di
'tempat biasa'; di dalam vas bunga di atas meja putih di samping kami ini. Baru
saja selesai berganti pakaian, aku mendengar klakson di depan rumah. Aku pikir
mama dan Yaya kembali karena kelupaan sesuatu ternyata setelah pintunya kubuka,
dia. 'Seseorang itu' berdiri tepat di depanku dengan wajah yang sama kagetnya
denganku saat itu.
*** ***
*** *** ***
"Orang-orang yang
jatuh cinta sering menganggap kebetulan sebagai keajaiban" Aku tertegun
sejenak mendengar kalimatnya barusan, bukankah itu kalimat yang pernah
kukatakan padanya dulu? "Maaf Ri, aku meminjam apa yang pernah kamu
katakan dulu padaku. Tapi... kau benar. Dan seharusnya, aku menyadari apa yang
coba ingin kamu sampaikan lewat kalimat itu dulu". Aku menelan ludah.
"Aku tidak
mengerti apa maksudmu" Aku mengatakannya pelan.
"Seharusnya aku
yakin dengan perasaanku sendiri. Seharusnya aku tidak ragu-ragu dengan apa yang
hatiku katakan tentang kamu. Seharusnya aku sudah memulainya sejak dulu. Aku
minta maaf, Ri" Ia kembali menatapku.
Kami beradu tatap lagi.
Kali ini aku tidak ingin mengalihkan pandanganku dari wajahnya barang
sedikitpun.
"Aku dulu
mencintai kamu, Ri. Hingga sekarang perasaanku ke kamu tidak berkurang
sedikitpun" Hening sejenak. Kata-katanya barusan membuat mataku perih. Aku
ikut menunduk mencoba menyembunyikan air mataku yang sudah hampir jatuh. Aku
bingung apa aku harus bahagia saat ini mendengar kata-kata itu keluar dari
mulutnya. Kata-kata yang telah kunantikan
hampir sepuluh tahun lamanya.
Ia beranjak dari kursi
tempatnya duduk, berdiri di depanku, mengulurkan tangannya. Aku berdiri.
Mengacuhkan tangannya yang masih terulur. Kini kami berdua telah berdiri dan
saling menatap satu sama lain. Matanya berair. Mataku tidak ada bedanya.
"Kau...."
Suaraku gemetaran. Aku menguatkan hatiku. "Kamu..." Aku menggigit
bibirku. Aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan.
Dia mendekat, membuat
jarak di antara kami semakin mengecil.
"Aku minta maaf,
Ri" Dia memegangi pundakku. Sedetik kemudian Ia menarikku ke dalam
pelukannya. "Aku mencintai kamu, Ri" Dia membisikkan kalimat itu
beberapa kali di telingaku.
"Semuanya telah
berbeda sekarang. Kau sudah..." Aku melepaskan diri dari pelukannya lalu
menyeka air mataku.
"Aku tidak peduli.
Aku ingin memastikan langsung dari kamu, aku ingin mendengar langsung dari
kamu, apa kau juga mencintaiku? Apa kau masih mencintaiku?" Ia kembali
memegangi pundakku. Menunggu jawaban. Aku entah kenapa merasa kesal dengan
perkataannya barusan.
"Untuk apa, hah?
Untuk apa?. Bagaimana perasaanku ke kamu sekarang tidak lagi penting."
Nada suaraku meninggi
"Penting
untukku" Ia memelankan suaranya, mengiba. Mataku berair lagi.
"Kau yang
membuatnya tidak penting!" Aku setengah berteriak. Kini aku tidak bisa
membendung air mataku. Ahh, aku tidak bisa menyalahkannya. Ia memelukku lagi.
Aku membiarkannya.
"Aku minta
maaf" Pelukannya semakin erat.
Seandainya jika saat
ini dia belum 'berbeda', seandainya jika dulu Ia tidak memutuskan untuk
'berubah', maka mungkin sekarang aku bisa dengan nyaman memeluknya. Aku sudah
cukup bahagia mendengar pengakuannya, aku sudah cukup bahagia mengetahui bahwa
selama 10 tahun ini aku tidak sendirian mencintai.
Aku melepaskan
pelukannya, menatap wajahnya lamat-lamat. Besok dan entah sampai kapan Aku
mungkin tetap akan mencintainya. Tapi Aku tidak ingin 'menengahi' mereka.
Mungkin sudah seharusnya begitu bahwa dalam cinta harus ada yang berkorban dan
dikorbankan. Maka biarlah perasaanku harus kupendam sendiri. Sepuluh tahun
menjadikan cinta ini sebagai rahasia telah membuat aku terbiasa.
"Aku ingin
istirahat..." Aku mengambil kiriman mama di atas meja di samping helmnya,
membawa masuk ke dalam rumah dan demi melihat Aku hendak menutup pintu, Ia
segera menahannya.
"Kamu tidak perlu
menanyakan bagaimana perasaanku ke kamu selama ini. Kamu tahu jawabannya. Dan
Aku. Aku tidak tahu kapan hatiku bisa membuang segala kenangan tentangmu, aku
tidak tahu kapan hatiku bisa membunuh perasaanku untukmu. Tapi aku akan mencoba
melupakannya lagi. Kau telah memilih dia. Kau punya dia. Maka jagalah ikrarmu. Lupakan
aku, lupakan perasaanmu tentangku, lupakan rasa penyesalanmu" Kata-kataku
barusan 'berhasil' membuatnya melepaskan gagang pintu.
"Kau harus
pulang..." Aku menutup pintu rumah...
*** *** *** ***
"Tuhan, tidak
bisakah orang jatuh cinta tanpa harus terluka?"
Comments