Skip to main content

PERTEMUAN KELIMA




Aku bertemu dia hari ini. Bukan, bukan 'seseorang yang lain' tapi 'seseorang itu'. Orang pertama yang membuat aku jatuh cinta, orang pertama yang membuat aku membenci cinta. Aku tidak pernah menyangka bertemu dia di sini, di tempat yang mustahil-menurutku- untuk kami bisa bertemu. Rumahku.

Aku sempat kaget melihatnya di depan pintu dan wajahnya juga menunjukkan hal yang sama. Kami terdiam cukup lama, membiarkan keheningan membius kami. Aku bisa mendengar degupan jantungku. Aku gugup.
"Hai..." Ia tersenyum
"Nenek menitipkan ini padaku untuk dikasih ke Mama kamu" Ia menyodorkan sebuah bingkisan hitam padaku. Aku segera menerimanya.
"Haa.....haaai..." Cuma 'hai', aku tidak tahu apa yang harus ku katakan.
"Mmmmm....eee...duduk dulu" Aku mempersilahkannya duduk?

Di teras rumah ada dua kursi besar berawarna putih yang menghadap ke jalan. Sebuah meja berbentuk bulat juga berawarna putih ada di antara kedua kursi besar tersebut. Aku duduk duluan di kursi yang paling dekat dengan pintu rumah. Ia melepaskan helmnya lalu ikut duduk. Aku memberi kode; menunjuk helm lalu menunjuk meja. Ia meletakkan helmnya di atas meja. Syukurlah Ia mengerti.

"Kamu baru sampai?" Tanyaku padanya yang berbarengan dengan pertanyaannya tentang bagaimana kabarku. Aku tertawa kecil. Ia juga.

"Jam 1 siang tadi. Cuman karena keringetan jadi aku mandi dulu sebelum kesini" Ia menjawabnya sambil melihat ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku darinya sembari menganggukkan kepala.

"Aku baik-baik saja" Aku menjawab pertanyaannya tadi. "Bagaimana kabarmu?" Tanyaku padanya.

"Aku juga baik-baik saja" Ia menjawab singkat. "Sudah lama, ya...?" Ia melanjutkan berbicara. Kini giliranku melihat ke arahnya. Meski dari samping, raut wajahnya nampak berubah. Jantungku di dalam sana berdetak semakin tak karuan. Ia melihat ke arahku membuat kami saling bertatapan. Aku memaksakan kepalaku agar menghadap ke depan menghindari tatapannya, tetapi tidak bisa.

Tidak ada yang tahu kenapa hatiku masih bergetar untuknya. Bahkan aku sendiri. Aku tidak pernah tahu kenapa aku bisa menyukainya. Aku tidak tahu kenapa hingga sekarang aku masih memendam rasa untuknya.

"Semalam Nenek mengantarkan kiriman ini ke rumah..."  Ia menunduk. Aku sedikit lega karena Ia akhirnya melepaskan pandangannya dariku. Meski begitu aku masih menatap wajahnya "Aku kira kebetulan saja hanya aku yang ke kota hari ini dan bisa dititipi kiriman untuk mama kamu. Aku kira kamu kuliah jadi tidak mungkin akan ketemu kamu. Dan setelah sampai di sini, aku tahu itu bukan kebetulan" Ia tersenyum kecut. Aku masih tetap menatapnya yang sekarang melihat lurus ke jalanan. Pikiranku sibuk mencerna apa yang dikatakannya barusan.

                   ***     ***     ***     ***     ***

Memang, untuk berangkat ke kota dari daerahku, orang harus menunggu hari Senin dan Kamis karena jadwal kapal hanya ada pada hari-hari tersebut. Benar, tidak ada 'jalur darat'. Jadi orang-orang di daerah yang akan berangkat ke kota biasanya cukup banyak karena jadwal kapal hanya ada dua kali dalam seminggu.

Dan aku. Sebenarnya tidak ada kuliah hari ini cuman aku harus mengembalikan buku yang kupinjam seminggu yang lalu di perpustakaan. Tanggal peminjamannya sudah 'kadaluarsa'. Siangnya aku ditelpon mama di suruh pulang karena jam 2 nanti mama ada arisan. Sudah pasti Yaya ikut. Jadi tidak ada orang di rumah.

Setelah sampai di rumah, pintu sudah dikunci. Katanya mama buru-buru jadi kunci rumah ditaruh di 'tempat biasa'; di dalam vas bunga di atas meja putih di samping kami ini. Baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar klakson di depan rumah. Aku pikir mama dan Yaya kembali karena kelupaan sesuatu ternyata setelah pintunya kubuka, dia. 'Seseorang itu' berdiri tepat di depanku dengan wajah yang sama kagetnya denganku saat itu.

                   ***     ***     ***     ***     ***

"Orang-orang yang jatuh cinta sering menganggap kebetulan sebagai keajaiban" Aku tertegun sejenak mendengar kalimatnya barusan, bukankah itu kalimat yang pernah kukatakan padanya dulu? "Maaf Ri, aku meminjam apa yang pernah kamu katakan dulu padaku. Tapi... kau benar. Dan seharusnya, aku menyadari apa yang coba ingin kamu sampaikan lewat kalimat itu dulu". Aku menelan ludah.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu" Aku mengatakannya pelan.

"Seharusnya aku yakin dengan perasaanku sendiri. Seharusnya aku tidak ragu-ragu dengan apa yang hatiku katakan tentang kamu. Seharusnya aku sudah memulainya sejak dulu. Aku minta maaf, Ri" Ia kembali menatapku.

Kami beradu tatap lagi. Kali ini aku tidak ingin mengalihkan pandanganku dari wajahnya barang sedikitpun.

"Aku dulu mencintai kamu, Ri. Hingga sekarang perasaanku ke kamu tidak berkurang sedikitpun" Hening sejenak. Kata-katanya barusan membuat mataku perih. Aku ikut menunduk mencoba menyembunyikan air mataku yang sudah hampir jatuh. Aku bingung apa aku harus bahagia saat ini mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Kata-kata yang telah kunantikan  hampir sepuluh tahun lamanya.

Ia beranjak dari kursi tempatnya duduk, berdiri di depanku, mengulurkan tangannya. Aku berdiri. Mengacuhkan tangannya yang masih terulur. Kini kami berdua telah berdiri dan saling menatap satu sama lain. Matanya berair. Mataku tidak ada bedanya.

"Kau...." Suaraku gemetaran. Aku menguatkan hatiku. "Kamu..." Aku menggigit bibirku. Aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan.

Dia mendekat, membuat jarak di antara kami semakin mengecil.
"Aku minta maaf, Ri" Dia memegangi pundakku. Sedetik kemudian Ia menarikku ke dalam pelukannya. "Aku mencintai kamu, Ri" Dia membisikkan kalimat itu beberapa kali di telingaku.

"Semuanya telah berbeda sekarang. Kau sudah..." Aku melepaskan diri dari pelukannya lalu menyeka air mataku.
"Aku tidak peduli. Aku ingin memastikan langsung dari kamu, aku ingin mendengar langsung dari kamu, apa kau juga mencintaiku? Apa kau masih mencintaiku?" Ia kembali memegangi pundakku. Menunggu jawaban. Aku entah kenapa merasa kesal dengan perkataannya barusan.
"Untuk apa, hah? Untuk apa?. Bagaimana perasaanku ke kamu sekarang tidak lagi penting." Nada suaraku meninggi
"Penting untukku" Ia memelankan suaranya, mengiba. Mataku berair lagi.
"Kau yang membuatnya tidak penting!" Aku setengah berteriak. Kini aku tidak bisa membendung air mataku. Ahh, aku tidak bisa menyalahkannya. Ia memelukku lagi. Aku membiarkannya.
"Aku minta maaf" Pelukannya semakin erat.

Seandainya jika saat ini dia belum 'berbeda', seandainya jika dulu Ia tidak memutuskan untuk 'berubah', maka mungkin sekarang aku bisa dengan nyaman memeluknya. Aku sudah cukup bahagia mendengar pengakuannya, aku sudah cukup bahagia mengetahui bahwa selama 10 tahun ini aku tidak sendirian mencintai.

Aku melepaskan pelukannya, menatap wajahnya lamat-lamat. Besok dan entah sampai kapan Aku mungkin tetap akan mencintainya. Tapi Aku tidak ingin 'menengahi' mereka. Mungkin sudah seharusnya begitu bahwa dalam cinta harus ada yang berkorban dan dikorbankan. Maka biarlah perasaanku harus kupendam sendiri. Sepuluh tahun menjadikan cinta ini sebagai rahasia telah membuat aku terbiasa.

"Aku ingin istirahat..." Aku mengambil kiriman mama di atas meja di samping helmnya, membawa masuk ke dalam rumah dan demi melihat Aku hendak menutup pintu, Ia segera menahannya.
"Kamu tidak perlu menanyakan bagaimana perasaanku ke kamu selama ini. Kamu tahu jawabannya. Dan Aku. Aku tidak tahu kapan hatiku bisa membuang segala kenangan tentangmu, aku tidak tahu kapan hatiku bisa membunuh perasaanku untukmu. Tapi aku akan mencoba melupakannya lagi. Kau telah memilih dia. Kau punya dia. Maka jagalah ikrarmu. Lupakan aku, lupakan perasaanmu tentangku, lupakan rasa penyesalanmu" Kata-kataku barusan 'berhasil' membuatnya melepaskan gagang pintu.

"Kau harus pulang..." Aku menutup pintu rumah...
 
                  ***          ***          ***          ***


"Tuhan, tidak bisakah orang jatuh cinta tanpa harus terluka?"

Comments

Popular posts from this blog

Home is My Favorite Word

  Salah satu kata favoritku dalam bahasa inggris adalah ‘home’ yang berarti rumah. Memang kata rumah dalam bahasa inggris bukan hanya ‘home’, ada ‘house’ juga. Yang menjadi pembeda, saat kita bilang ‘house’ maka artinya hanya sebatas ‘bangunan fisik’ yang kita tempati. Tidak lebih. Sedangkan saat kita bilang ‘home’ kita tidak hanya bicara tentang bangunan fisik, kita bicara tentang perasaan. ‘Home’ berarti perwujudan apapun yang membuat kita nyaman dan menemukan cinta. Maka itu bisa tempat, bangunan, atau bahkan orang. Selama kita merasa nyaman. Selama kita merasa aman. Selama kita merasa dicintai. Selama kita bisa menjadi diri kita sendiri tanpa khawatir dinilai. Selama kita bahagia. Maka tidak penting dalam bentuk apapun, itu adalah ‘home’. Ketika seseorang bilang ke kita “you are my home” atau “you feel like home to me”, bagiku itu adalah bentuk penghargaan tertinggi.

Kenangan

  Aku biasanya berbaring di sampingmu. Semenjak kecil. Mendengarkanmu bercerita banyak hal. Apa saja, termasuk keinginan-keinginan sederhanamu. Terlalu sederhana. Seperti saat kau memintaku untuk membelikanmu sebuah sandal yang nyaman untuk kau pakai di rumah. Kadang giliranmulah yang mendengarkan aku bercerita. Lebih tepatnya berkeluh kesah. Saat banyak hal menyakitkan terjadi. Saat hati sesak, penuh dengan beban. Mengobrol denganmu selalu menjadi obat. Saat jauhpun kita tidak pernah absen mengobrol. Saling menelepon menjadi rutinitas kita. Meskipun hanya beberapa menit. Kau bilang; “Yang penting kmalongo nik Alan ni suara do” Sekarang, hening. Tempat tidur yang biasanya kau tempati, di mana aku biasanya berbaring di sisimu, sekarang kosong. Kau tidak lagi di situ. Tidak ada lagi senandung-senandung kecilmu. Pun obrolan-obrolan kita. Aku tidak bisa lagi mendengarkan suaramu. Semesta memutuskan telepon kita. Padahal masih banyak yang ingin kuceritakan padamu, masih banyak yang ingi...

Review Jurnal - Etika Bisnis dan Profesi

PERAN PENTING ETIKA BISNIS BAGI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN INDONESIA DALAM BERSAING DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( https://www.jagakarsa.ac.id ) Jeffry H. Sinaulan (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tama Jagakarsa) DIREVIEW OLEH Fachran Nurdiansyah Arifin A.     LATAR BELAKANG Dengan berkembangnya dunia ekonomi tentunya pelaku ekonomi harus memerhatikan faktor-faktor terkait dengan perkembangan tersebut. Dalam perusahaan dibutuhkan perencanaan jangka panjang dan strategi yang tepat untuk dapat bersaing dalam persaingan global yang sangat ketat saat ini. Selain itu, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam perusahaan untuk dapat bersaing dalam perkembangan ekonomi saat ini adalah terkait dengan masalah “etika”. Etika sangatlah penting bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya juga dalam mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk yang dijual oleh perusahaan. Tentunya hal tersebut juga berpengaruh terhadap tingkat...