"Apa kabar?
Kamu pasti baik-baik saja
bukan? Aku juga baik-baik saja. Kecuali hatiku.
Kamu tahu, sekarang aku berada di
mana? Aku berada di pantai. Pantai pertama yang pernah kita datangi bersama.
Dulu. Ah, sudah lama sekali. Kamu mungkin tidak mengingatnya, tapi aku, aku bahkan
tidak bisa melupakannya meski aku ingin. Bagaimana aku bisa melupakan pantai
ini jika ia menyimpan kenangan bersama kamu?
Sebenarnya aku pernah berjanji pada
diriku sendiri untuk tidak pernah datang ke sini lagi semenjak hari di mana
kamu memutuskan untuk 'berubah' dulu. Saat itu aku telah memutuskan untuk
melupakan segala tentang kamu, termasuk pantai ini. Tapi begitulah, aku selalu
kalah oleh perasaanku sendiri. Bagaimanapun aku berusaha, perasaan untukmu tidak
pernah berkurang barang sedikitpun. Bahkan setiap hari ia bertambah, membuat
sesak hati.
Apa kamu penasaran kenapa aku
berada di sini sekarang? Meskipun tidak, biar kukatakan alasannya: Pertama, karena aku merindukan kamu! Iya, karena aku rindu kamu. "Apa itu artinya aku tidak pernah merindukannmu di hari-hari lain?"
Tidak! Kapan aku tidak pernah merindukanmu? Aku selalu. Tetapi kali ini aku
tidak bisa menahannya. Dan sebelum rindu itu semakin besar, sebelum hatiku
semakin sesak maka kuputuskan untuk mendatangi pantai ini. Aku ingin
menguranginya; mengurangi rinduku; mengurangi sesak di hati .
Alasan lainnya kenapa aku ke pantai
ini sekarang adalah karena hari ini tepat setahun aku kehilangan kamu. Apa kamu
ingat? Mana mungkin kamu ingat?! Kamu tahu, di hari itu aku ke tempat ini.
Di hari tepat di mana kamu 'berubah'. Aku sendiri, duduk mematung memandangi
tiap tempat di mana kamu duduk dan berdiri di sini dulu. Hari itu aku juga
menuliskan surat untuk kamu. Surat ketiga. Surat panjang berisi pengakuan atas
perasaanku padamu, surat yang juga berisi tumpahan rasa sakit karena harus
kehilanganmu di hari itu. Kehilangan? Ah, aku bahkan tidak pernah memiliki
kamu.
Mama pernah bilang, "Ri, kita merasa kehilangan
bukan karena kita memiliki. Kita merasa kehilangan karena kita mencintai" Dan itu pembenaran
atas rasa kehilanganku. Meskipun aku tidak pernah benar-benar memilikimu, meskipun kau tidak pernah kumiliki, aku
merasa kehilangan karena aku mencintai kamu.
Dan sampai sekarang... rasa itu tetap ada. Cinta itu masih sama. Menjadi luka yang tidak pernah sembuh. Tidak akan pernah sembuh. Kau tahu saat kita kehilangan orang yang kita cintai kita tidak hanya dan akan berkabung hari itu saja, melainkan seumur hidup kita.
Apa kabar?
Sungguh aku ingin tahu
bagaimana keadaanmu meski aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Kamu juga
pastinya bahagia bukan? Aku mungkin juga bahagia. Mungkin.
Ngomong-ngomong ini sudah kali ke
empat aku menuliskan surat untuk kamu. Meskipun aku tahu, peluang surat ini dan
surat-surat lain sebelumnya bisa kamu baca adalah satu banding sejuta
kemungkinan. Sama seperti peluang hatiku bisa memiliki hatimu. Tapi ini adalah
caraku untuk bisa jujur dengan perasaanku, cara untuk mengakui bagaimana
perasaanku yang sesungguhnya, cara untuk mengatakan betapa hatiku begitu
menginginkan kamu, dan selebihnya untuk mengurangi sedikit sakit dan sesaknya
memendam perasaanku padamu.
Jika surat-surat itu ditemukan oleh
orang lain maka boleh jadi ada yang sudah tertawa di luar sana membaca surat
pertama dan keduaku, tentang bagaimana aku bisa jatuh cinta padamu, bagaimana aku
berusaha mencuri perhatianmu, bagaimana konyolnya aku setiap kali di dekatmu,
juga bagaimana pandanganku tidak bisa lepas darimu. Boleh jadi juga ada yang sudah
mengasihani pemilik surat bodoh itu ketika membaca surat ketigaku di hari kamu
'berubah' dulu. Atau boleh jadi, belum ada yang membuka botol-botol berisi surat untukmu yang
kuhanyutkan itu.
Surat-surat berisi rahasia terbesarku. Surat-surat pengakuanku.
"Aku takut. Aku takut masih
mencintaimu meskipun Tuhan tidak menggariskan kamu untukku" Aku ingat pernah menulis
kalimat itu di salah satu surat-suratku sebelumnya. Sekarang ketakutanku itu
malah terjadi. Dan jika bisa meminta pembenaran; bukankah perkara cinta selalu membuat
hati sulit untuk dikendalikan? Aku tidak bisa membuat cintaku berkurang
untukmu, bahkan ketika aku terluka dengan sangat. Aku tidak pernah bisa menghapus
namamu yang sepertinya dibuat permanen di dalam hatiku. Aku mencintaimu hingga
sekarang...
Dan entah sampai kapan...
Terakhir, jika keajaiban membuat
kamu bisa membaca surat ini aku ingin menanyakan satu hal penting yang ingin ku
ketahui sejak dulu-meskipun dengan berubahnya kamu sebenarnya telah menjadi
jawaban-
tapi...
apa kamu pernah memiliki 'perasaan
itu' padaku? apa kamu pernah mencintaiku barang sedikit saja?
..."
*** *** *** *** ***
Aku
menggulung kertas berisi pengakuan dan rahasia tentangnya yang baru selesai
kutulis, memasukannya ke dalam botol lalu ku lemparkan ke laut. Ini adalah surat keempatku untuk 'seseorang yang lain'. Entah dari mana aku mendapatkan ide tersebut. Jelasnya menulis pengakuan dalam surat-surat itu cukup membantu mengurangi sesak di hatiku. Aku
menghembuskan napas lega sambil memandangi botol yang kini 'berlayar' membawa 'rahasiaku'.
Di
saat-saat dramatis seperti itu tiba-tiba suara Yaya menirukan gurunya terngiang
ditelingaku "Jangan pernah membuang sampah ke laut, itu bisa mengotori dan
mencemari laut. ... ..." Ah, aku jadi merasa bersalah telah mengotori dan
mencemari laut. Aku janji, ini akan jadi yang terakhir kalinya.
Aku
masih belum ingin pulang. Aku masih ingin di sini...
Comments