Skip to main content

Pagi di Sebuah Bank



Waktu menunjukkan pukul 9.45 WIT saat saya sampai di depan pintu bank. Untuk mengurus sesuatu di bank sepertinya saya terlalu terlambat karena datang di jam segitu. Saat satpam bank membukakan pintu saya mendapati kursi-kursi telah dipenuhi oleh orang-orang.

Saya berdiri di samping pintu saat Pak Satpam bertanya:
"Mau ngurus apa,?"
Saya menjawab pertanyaan Pak Satpam dan beliau lalu meminta beberapa 'dokumen' yang diperlukan untuk 'urusan' saya tersebut. 'Dokumen' tersebut kemudian diserahkan kepada mba-mba pegawai bank yang sedang melayani nasabah-sementara saya disuruh menunggu oleh pak Satpam.

Syukurlah, kursi-kursi di depan meja mba pegawai bank yang telah penuh akhirnya ada dua yang kosong. Satu di ujung kanan bagian paling depan dan satunya lagi tepat di belakang kursi kosong yang satunya. Saya pun menuju kursi yang paling depan dan bersamaan saat saya suduk, seorang kakek menepuk pundak saya sambil tersenyum kemudian beliau duduk di kursi tepat di belakang saya. Saya membalas senyum beliau dan membuat gerakan kepala sedikit menunduk pada beliau.

"Ah, mungkin tadi beliau menunggu saya duduk agar beliau bisa lewat" Pikir saya karena sebelum duduk tadi saya masih merogoh saku celana mencari smartphone dan mungkin menghalangi jalan beliau ke kursi kosong lain di bekakang saya.
"Apa saya seharusnya mempersilahkan beliau untuk duduk di depan dan saya saja yang di belakang? Aah, kayaknya tidak usah toh beliau juga sudah duduk" Saya membatin.

Sedetik kemudian jari-jari saya telah sibuk menekan dan mengusap-usap layar smartphone saya. Yaa, ini adalah cara mengusir kebosanan ketika mengantri (menunggu). Beberapa orang yang menunggu gilirannya dipanggil mba pegawai bank juga melakukan hal yang sama; sibuk dengan smartphone mereka masing-masing.

Hampir setengah jam menunggu, nama saya akhirnya dipanggil. Setelah menulis beberapa hal di kertas yang dikasih sama mba pegawai bank, saya diminta untuk duduk kembali di tempat saya tadi untuk nanti dipanggil lagi.

Saat kembali ke tempat duduk saya, saya melihat kakek yang menepuk pundak saya tadi melambai kepada seorang ibu-ibu yang berdiri di dekat pintu bank-tempat saya berdiri sebelumnya. Ibu-ibu itu sedang menggendong anaknya yang usianya mungkin masih dalam hitungan bulan.

"Mungkin ibu-ibu itu adalah anak si kakek!"
"Mungkin ibu-ibu itu adalah kenalan si kakek!"

Seperti biasa hati saya bisik-bisik di dalam.

Karena ibu-ibu tadi tidak melihat ke arah kakek, beliau pun berdiri dan menghampiri ibu-ibu tersebut. Dari tempat duduk saya, saya memperhatikan mereka.

"Ibu, ibu silahkan duduk di sana saja" Kakek tadi menunjuk kursinya sendiri sambil tersenyum.

"Tara apa tete. Tete yang duduk saja. Tara apa" Balas ibu itu dengan raut wajah tidak enakan.

"Jangan. Ibu yang duduk sudah, Ibu deng anak kong" Karena kakek itu terus memaksa Ibu itu akhirnya menuju tempat duduk si kakek. Saya pura-pura menekuri smartphone saya saat ibu-ibu tersebut lewat dan akhirnya duduk di bekakang saya.

Astaga, apa yang salah dengan saya?

Membiarkan kakek-kakek berdiri dan memberikan tempat duduknya kepada orang lain sementara saya hanya duduk manis saja menonton?

Saya memperhatikan satu persatu orang-orang yang saat itu sedang duduk; dua cewek dan dua cowok (sepertinya mahasiswa) di jajaran kursi paling belakang, tiga abang-abang di samping kiri, juga yang lain-lainnya; semuanya sedang sibuk menekuri smartphone mereka. Mereka hanya menatap sekilas saat mendengar kakek dan ibu-ibu tersebut mengobrol lalu sibuk lagi dengan smartphone mereka. Bahkan ada yang tidak menengok, tidak tertarik sama sekali.

Saya masih tidak percaya dengan apa yang saya lihat dan lebih tidak percaya lagi saya juga sama seperti mereka. Tidak melakukan apa-apa.

Astaga!

Mata saya tidak bisa terlepas dari beliau yang sedang berdiri di tempat ibu-ibu tadi. Rasa bersalah dan rasa malu yang besar memaksa otak saya memikirkan cara agar beliau bisa duduk kembali.

Saya berdiri menghampiri beliau. Melihat saya, beliau tersenyum. Saya membalas senyuman beliau.
"Pe lama sampe e Tete" Saya pura-pura mengeluh

"Tete. Tete duduk di saya pe tampa sudah" Melihat raut wajah beliau yang sama seperti saat ibu-ibu tadi saat ditawarkan tempat duduk-saya bersuara lagi:
"Tara apa tete. Hehehe" Beliau tersenyum pada saya sebelum akhirnya menempati tempat duduk saya.

Saya merasa lega melihat beliau akhirnya duduk. Tak lama kemudian nama saya dipanggil kembali oleh mba pegawai bank. Setelah membayar biaya administrasi saya bergegas keluar. Saya ingin menoleh ke kakek tersebut sebentar untuk memberikan 'senyum pamit' tapi saya urungkan.

Semoga beliau tetap sehat, selalu dimudahkan segala urusannya, dan semoga kebaikan selalu menyertai langkah beliau.

Aamiin.

#cttnAA

Comments

Popular posts from this blog

Home is My Favorite Word

  Salah satu kata favoritku dalam bahasa inggris adalah ‘home’ yang berarti rumah. Memang kata rumah dalam bahasa inggris bukan hanya ‘home’, ada ‘house’ juga. Yang menjadi pembeda, saat kita bilang ‘house’ maka artinya hanya sebatas ‘bangunan fisik’ yang kita tempati. Tidak lebih. Sedangkan saat kita bilang ‘home’ kita tidak hanya bicara tentang bangunan fisik, kita bicara tentang perasaan. ‘Home’ berarti perwujudan apapun yang membuat kita nyaman dan menemukan cinta. Maka itu bisa tempat, bangunan, atau bahkan orang. Selama kita merasa nyaman. Selama kita merasa aman. Selama kita merasa dicintai. Selama kita bisa menjadi diri kita sendiri tanpa khawatir dinilai. Selama kita bahagia. Maka tidak penting dalam bentuk apapun, itu adalah ‘home’. Ketika seseorang bilang ke kita “you are my home” atau “you feel like home to me”, bagiku itu adalah bentuk penghargaan tertinggi.

Kenangan

  Aku biasanya berbaring di sampingmu. Semenjak kecil. Mendengarkanmu bercerita banyak hal. Apa saja, termasuk keinginan-keinginan sederhanamu. Terlalu sederhana. Seperti saat kau memintaku untuk membelikanmu sebuah sandal yang nyaman untuk kau pakai di rumah. Kadang giliranmulah yang mendengarkan aku bercerita. Lebih tepatnya berkeluh kesah. Saat banyak hal menyakitkan terjadi. Saat hati sesak, penuh dengan beban. Mengobrol denganmu selalu menjadi obat. Saat jauhpun kita tidak pernah absen mengobrol. Saling menelepon menjadi rutinitas kita. Meskipun hanya beberapa menit. Kau bilang; “Yang penting kmalongo nik Alan ni suara do” Sekarang, hening. Tempat tidur yang biasanya kau tempati, di mana aku biasanya berbaring di sisimu, sekarang kosong. Kau tidak lagi di situ. Tidak ada lagi senandung-senandung kecilmu. Pun obrolan-obrolan kita. Aku tidak bisa lagi mendengarkan suaramu. Semesta memutuskan telepon kita. Padahal masih banyak yang ingin kuceritakan padamu, masih banyak yang ingi...

Review Jurnal - Etika Bisnis dan Profesi

PERAN PENTING ETIKA BISNIS BAGI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN INDONESIA DALAM BERSAING DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( https://www.jagakarsa.ac.id ) Jeffry H. Sinaulan (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tama Jagakarsa) DIREVIEW OLEH Fachran Nurdiansyah Arifin A.     LATAR BELAKANG Dengan berkembangnya dunia ekonomi tentunya pelaku ekonomi harus memerhatikan faktor-faktor terkait dengan perkembangan tersebut. Dalam perusahaan dibutuhkan perencanaan jangka panjang dan strategi yang tepat untuk dapat bersaing dalam persaingan global yang sangat ketat saat ini. Selain itu, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam perusahaan untuk dapat bersaing dalam perkembangan ekonomi saat ini adalah terkait dengan masalah “etika”. Etika sangatlah penting bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya juga dalam mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk yang dijual oleh perusahaan. Tentunya hal tersebut juga berpengaruh terhadap tingkat...