"Tidak ada pilihan yang salah. Bahkan saat kita merasa kecewa atas pilihan yang kita buat, setidaknya kita telah belajar dari itu" (-Alan Arifin) |
“Inilah
untungnya ketika tidak ada listrik. Langit malam terlihat lebih cantik. Kita
bisa melihat bintang-bintang dengan jelas. Kau lihat bintang-bintang yang di
sana? Yang membentuk huruf A itu? Itu adalah bintang saya,” Tangannya menunjuk-nunjuk
ke atas. “Bintangmu yang mana?” Dia bertanya lagi.
“Saya?
Saya tidak tahu. Mungkin semua bintang di atas? Ya, semua bintang di atas
adalah bintang saya.” Mata saya tidak bisa terlepas dari langit malam. Benar
sekali katanya tadi. Langit malam terlihat lebih cantik di sini.
“Oh,
come on. Kau tidak bisa memilih
semuanya. Kau hanya bisa memilih satu bintang atau satu rasi bintang. Sekarang
pilihlah,” Dia menolehkan wajahnya pada saya. Saya ikutan melihat ke arahnya,
membuat tatap kami bertemu. Wajahnya terlihat dengan jelas meski hanya ditimpa
cahaya bintang dan bulan yang mirip seperti kuning telur mata sapi di atas
sana. Dia menyimpul senyum sambil menaikturunkan kedua alisnya. Mata saya
tertuju pada sesuatu di atas pangkal alisnya yang kanan. Sebuah tahi lalat?
Sejak kapan ada di sana? “Ayo, pilihlah.” Dia bersuara lagi. Saya tersenyum
lalu kembali memandangi langit. Mencoba menemukan bintang saya.
“Mungkin
yang itu?” Saya menunjuk sebuah bintang di sebelah bintang A-nya. Wajahnya
kembali diarahkan ke langit.
“Yang
mana?” Dia kembali bertanya setelah beberapa saat tidak berhasil menemukan
bintang yang saya maksud.
“Yang
sendiri. Di sebelahmu. Maksud saya di sebelah bintang A-mu.” Dia mengikuti arah
telunjukku. Beberapa detik kemudian kernyit di alisnya menghilang. Sepertinya
dia telah menemukannya.
“Kenapa
kau memilih bintang itu?” Wajahnya kembali lagi menoleh pada saya.
“Kau
sendiri kenapa memilih bintang A itu?” Saya balik bertanya sambil terus
memandangi bintang saya dan bintang A-nya.
“Hemmmmmm…,”
Dia menghela dan menghembuskan napas. “Dulu saat malam saya sering duduk di
depan teras rumah. Memandangi langit malam seperti ini. Dan bintang A ini yang
sering saya lihat dari teras rumah, ‘bertengger’dan seakan-akan mengucap salam pada
saya. Berbicara kepada saya.” Dia memasang wajah ‘seriusnya’membuat saya tidak bisa menahan tawa.
“Apa
saja yang dikatakan bintang A-mu selain mengucap salam?” Saya bermaksud
mengejek dengan menirukan wajah ‘serius’nya.
“Kau
tebak sendiri. Kira-kira apa yang dikatakannya?” Dia tersenyum. Saya mengangkat
bahu memberi isyarat: “I have no idea”
“Saya
tahu kau pasti tidak bisa menebak apa yang dikatakannya,” Wajahnya masih
tersenyum. Tangannya menunjuk ke atas membuat gerakan menulis yang sepertinya membentuk
huruf A. “Tunggu, kau bahkan belum memberitahu saya kenapa kau memilih bintang
yang itu?” Dia menunjuk bintang yang saya pilih tadi lalu mengubah posisinya. Tubuhnya
kini menghadap ke arah saya dengan kepala bertopangkan tangan kanannya yang
ditekuk.
“Entahlah.
Saya hanya merasa bintang di dekat bintang A-mu itu…keren? Iya, keren.” Mendengar
jawaban tersebut dia tertawa.
“Keren?
Hanya itu alasannya? Oke. Kau penasaran, kan, apa yang dikatakan bintang A saya
selain mengucap salam? Dia baru saja bilang kalau pilihan bintangmu ‘keren’.“ Kini
gilirannya mengejek saya. Dia masih tertawa. Saya mengacuhkannya dan malah
menunjuk ke arah langit dan meniru gerakan menulisnya tadi.
“Bilang
pada bintang A-mu ‘terima kasih’. Nanti saya bawakan sate sebagai hadiah.” Saya
masih membuat gerakan menulis tadi sambil ikutan tertawa.
“Dia
bilang ‘Sama-sama’. Tapi katanya dia tidak suka sate. Mana ada bintang yang
makan sate?”
“Kalau
dia tidak mau satenya ya sudah. Saya habiskan sendiri.” Saya melipat tangan saya
di dada, memejamkan mata, dan tersenyum. Mmm, makan sate sambil memandangi
langit seperti ini sepertinya ide bagus juga. Pikir saya.
“Kata
bintang saya, satenya berikan saja pada
saya…” Saya membuka mata dan melihat ke arahnya. Dia memejamkan matanya sambil
tersenyum, meniru saya. Saya tertawa. Dia
ikut tertawa.
“Tapi,
kenapa juga harus memilih beberapa bintang di antara bintang-bintang itu? Saya
lebih suka menyebut semua bintang di atas adalah milik saya.” Dia menghentikan
tawanya mendengar pertanyaan saya barusan.
“Serakah,
dong,” Dia tersenyum yang kemudian dilanjutkan lagi dengan tawa.
“Itu
pilihan saya.” Saya ngotot.
“Kau
diharuskan untuk memilih di antara bintang-bintang itu.” Dia menekankan nada bicaranya
pada kata ‘di antara’. “Jadi ketika kau memilih semuanya maka itu tidak
termasuk dalam ‘memilih di antara’. Kau tidak sedang memilih.” Dia mengakhirnya
dengan senyum. Lagi.
“Well, ada orang yang bilang bahwa tidak
memilih pun adalah suatu pilihan.” Mata saya terpejam mengabaikan pandangan
matanya pada wajah saya.
“Orang
itu pasti pengecut.” Dia menahan tawa melihat mata saya yang langsung terbuka
setelah mendengar kalimat pendeknya barusan.
“Kau
mau tahu siapa orangnya?”. Dia menganggukkan kepala. Saya membisikkan sesuatu
pelan. Beberapa detik kemudian kami tertawa.
“Dalam
hidup kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan sesulit apapun untuk
menentukannya, kita tetap harus memilih. Tidak ada pilihan yang salah. Bahkan
saat kita merasa kecewa atas pilihan yang kita buat, setidaknya kita telah
belajar dari itu.” Dia kembali merebahkan diri. Kembali ke posisi sebelumnya;
menghadap ke atas. Dari samping matanya terlihat terpejam.
Orang
ini. Meski baru beberapa kali bertemu kenapa rasanya seperti teman lama?
Comments