Skip to main content

SAGAWELE: Bioskop Tradisional


"Orang-orang-beberapa orang,-masing-masing orang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk bahagia. (-Alan Arifin)"



Saya baru saja melangkahkan kaki memasuki pintu bioskop. Yup, saya ingin menonton film. Ya, iyalah masa mau beli tomat?  Saya sendiri. Maksud saya ada banyak orang di dalam -tapi saya datang sendiri tanpa teman menonton. Tipikal introvert? Atau mungkin benar kata orang bahwa semakin dewasa kita semakin nyaman sendiri.
“Kata siapa?”

Ngomong-ngomong, bioskop tempat saya menonton adalah satu-satunya bioskop di Ternate. Baru dibuka sekitar setahun lalu? Kira-kira. Jadi, ruangan bioskop tidak pernah kehilangan penonton. Kecuali pada saat ditutup tentunya. Hehehe.

***                  ***                ***
Ternyata banyak yang sudah mengantri untuk membeli tiket. Antriannya sama seperti antrian di bank saat tanggal muda seperti ini. Penuh.  Saya memutuskan untuk tidak ikutan mengantri dulu dan bergeser ke bagian sudut kiri di samping pintu masuk. Bersembunyi dari keramaian. Memperhatikan orang-orang yang sibuk  di ruangan berbau popcorn ini. Ada beberapa golongan di sini diantaranya: segerombolan anak muda yang ketawa-ketiwi di sudut kanan sana-yang sepertinya masih SMA; ada laki-laki dan perempuan yang memisahkan diri berdua, ada yang bergandengan tangan, ada yang saling rangkul, cukup menjadi clue bahwa mereka adalah sepasang kekasih; ada juga dua tiga orang muda-mudi berpenampilan mahasiswa yang sibuk foto-foto; ada yang berpakaian seragam putih-putih sibuk membawa kakinya kesana-kemari-kalian bisa tebak siapa mereka; dan ada yang mengikhlaskan kakinya berdiri mengantri untuk golongan-golongan tadi-kecuali golongan yang kedua dan keempat tentunya. Dan di antara golongan-golongan tersebut ada saya yang masuk dalam golongan “bukan golongan-golongan tadi”.

Anyway, melihat banyak orang di ruangan ini mengingatkan saya pada saat masih kecil dulu. Saat masih bahagia hanya dengan berbagi bumbu supermie, saat belum mengenal Facebook, saat belum sibuk rekaman lagu di kamar mandi dengan Smule, saat belum ketawa-ketawa sendiri karena video di youtube, saat belum sibuk dengan film-film baru yang diputar di bioskop, dan lain-lain. Dunia begitu cepat berubah. Dunia telah banyak berubah. Ada banyak hal yang telah berbeda. Meskipun jika diperhatikan ada beberapa hal yang …masih sama. Orang-orang-beberapa orang,-masing-masing orang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk bahagia. Ini masih sama. Tidak pernah berubah.

Saya tersenyum ke Pak Satpam yang kini telah berdiri di samping saya. Ada lelah di wajahnya namun beliau masih membalas senyum saya.

Oh, ya. Saya ingat. Dulu waktu kecil, sekitar tahun 2004? Atau 2005? 2006? Ah, pokoknya di tahun-tahun itu di Sagawele hampir sebagian besar masyarakat belum memiliki televisi. Hanya ada sebagian orang. Bisa dihitung dengan jari. Tidak melebihi jari di satu tangan manusia malah.  Boro-boro televisi, PLN saja masih banyak yang belum tahu kepanjangannya.  Jadi,’mereka yang punya televisi’menghidupkan televisi mereka dengan listrik dari alat yang kami sebut ‘mesin, genset atau generator’.  Dengan alasan itulah, kami-orang-orang yang belum memiliki televisi harus membayar  kepada mereka yang memiliki televisi jika ingin menonton. Rp500 untuk anak kecil (usia anak SD)dan Rp1.000 untuk orang dewasa (usia di atas usia anak SD). Uang tersebut nantinya digunakan untuk membeli bensin-minuman bagi genset- sang sumber ‘listrik’.

Bisnis bioskop tradisional ini jika dipikir-pikir sangat menguntungkan pada masa itu. Bagaimana tidak, yang menonton ada puluhan orang sementara bensin yang diperlukan kira-kira hanya satu atau satu setengah liter untuk setiap pemutaran satu film. Dengan harga bensin dulu yang masih belum semahal sekarang uang dari sepuluh anak kecil dan sepuluh orang dewasa saja sudah ada sedikit untungnya.  Kenyatannya jumlah penonton bioskop tradisional ini malah lebih banyak lagi. Jadi meski dikurangi dengan biaya sewa dvd atau kaset film tetap saja masih menguntungkan.
Apalagi setelah adanya antenna parabola. Tidak perlu kaset film tinggal setel channel televisi mana dengan sinetron yang digemari masyarakat saja sudah bisa membuat rumah pemilik televisi penuh dengan orang-orang. Dan tentu saja kaleng berisi uang tiket pun ikutan penuh.

Namun, bisnis bioskop tradisional ini hanya bertahan beberapa tahun. Karena seperti yang saya bilang perubahan di dunia begitu cepat. Banyak orang di Sagawele yang akhirnya memiliki televisi dan antenna parabola. Tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk menonton televisi di rumah orang lain. Tidak perlu lagi berdesak-desakan dan mengipasi diri sesekali saat menonton di ruangan tanpa AC atau kipas angina. Ruangan yang sesak. Penuh dengan orang-orang. Tidak perlu lagi mengantri untuk memasukkan koin lima ratusan di kaleng yang dipegang oleh si empunya televisi agar diizinkan masuk menonton, sama seperti yang orang-orang lakukan sekarang di bioskop. Orang-orang yang termasuk saya salah satunya.

Atau mungkin tidak.


Karena saya baru saja keluar dari bioskop. Memutuskan untuk tidak menonton.  

Comments

Popular posts from this blog

Ada Apa Dengan Diskon? (AADD)

Siapa hayoo yg kalo dengar kata diskon gendang telinganya besar matanya melotot? Disadari atau nggak, kata diskon merupakan jurus ampuh yg selalu bisa membuat jualan laku. Percaya deh, kalau ada kata diskon terpampang pasti banyak orang yg bakalan menyerbu. Sebenarnya sih diskon itu cuman strategi pemasaran yg digunain penjual untuk mengelabui konsumen. Iya? Setidaknya, ada dua strategi diskon (lebih tepatnya sih pemalsuan diskon wkwkwk) yg biasa digunakan oleh penjual untuk membuat barangnya laku. Pertama, diskon diberikan hanya untuk produk yang merupakan barang lama yg gak laku. Namanya barang lama daripada gak laku terus gitu menuhin gudang mending dijual dengan harga murah (diberi potongan harga) biar bisa diganti dengan produk baru yg lebih trendi. Kedua, terkadang sebelum didiskon, harga dinaikkan terlebih dahulu. Jadi misalnya ada barang dengan harga sebenarnya Rp.100.000, nah dinaikkan nih oleh si penjual menjadi Rp.200.000 terus diberi diskon 50%. Paham ka

South Halmahera Regency

From Wikipedia, the free encyclopedia (https://en.wikipedia.org/wiki/South_Halmahera_Regency) South Halmahera Regency Regency Seal Country   Indonesia Province North Maluku Island Halmahera Capital Labuha Area  • Total 8,892 km 2 (3,433 sq mi) Population (2010)  • Total 198,911 Time zone WIT ( UTC+9 ) Website http://www.halselkab.go.id South Halmahera Regency or Halmahera Selatan is a regency of North Maluku Province, Indonesia . It lies partly on Halmahera Island and partly on smaller islands to the west and south of Halmahera. As of 2010 it had a population of 198,911 people. [ 1 ] The capital lies at Labuha on Bacan Island. Islands It is home to a number of archipelagoes and islands. Among them: Obi Islands , including Obira (main), Bisa, Obilatu and other small islands, comprising in all 5 kecamatan with 41,455 people at the 2010 census. Bacan Islands , including: Bacan I

Review Jurnal Manajemen Strategi

Judul               : Analisis SWOT dalam Menentukan Strategi Pemasaran Sepeda Motor    pada PT. Samekarindo Indah di Samarinda Sumber            : eJournalAdministrasiBisnis 2013, 1 (1): 56-70                           ISSN 0000-0000, ejournal.adbisnis.fisip-unmul.org                           @copyright2013 Penulis             : Nur Afrilita T. Reviewer         : Fachran Nurdiansyah Arifin PENDAHULUAN             PT. Samekarindo Indah adalah perusahaan yang bergerak dalam penjualan kendaraan Suzuki dan merupakan Main Dealer Suzuki (distributor utama) yang ditunjuk oleh PT. Indomobil selaku ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Suzuki untuk wilayah penjualan Kalimantan Timur khususnya di wilayah Samarinda. Selain melayani penjualan kendaraan Suzuki, PT. Samekarindo Indah memberikan pelayanan seperti servis serta menyediakan suku cadang bagi kendaraan Suzuki. Dalam hal sepeda motor, realisasi pengadaan dan pemasaran sepeda motor Suzuki mengalami fluktuasi pangsa pas