Skip to main content

SAGAWELE: Juara Yang Tidak Naik Kelas


Saya baru saja keluar dari halaman parkir Telkom Ternate. Tadinya saya berencana untuk mengurus SIM Card saya yang hilang. Tapi sudah keburu tutup. Tidak heran.  Suara adzan di masjid sudah terdengar dari seberang jalan sana.  Itu artinya sudah pukul setengah 4 sore.
“Kalau saja tadi tidak ketiduran…” Gerutu saya dalam hati.

Saya agak ngebut  bawa motor- mengejar waktu karena jalanan pasti akan macet sebentar lagi. Tadi saja dari kosan ke sini jalanan sudah ramai. Orang-orang sibuk ngabuburit?.  Ah, ya, ditambah tadi ada pawai yang dilakukan anak-anak SMA. Merayakan kelulusan mereka. Coret-coret baju, nge-rossi tanpa helm, teriak-teriak di atas mobil pickup, dan sebagian lari-lari di samping jalan.

“Selamat, ya, adik-adik.” Saya  bergumam dalam hati. Ya, dalam hati saja. Tidak mungkin ikutan teriak, dong!

Tapi kenapa, sih, setiap merayakan kelulusan harus dengan coret-coret seragam? Saya tidak pernah mengerti dengan tradisi tahunan anak-anak SMA yang satu ini. Tidak kreatif.  Kenapa hanya dan selalu seragam coba? Dibuat beda, kek. Misalnya dengan mencoret-coret dinding rumah atau mencoret dinding sekolah saja seusai dengar pengumuman kelulusan.

Eh? Becanda. Hahaha. 

Maksudnya mengecat, ya, bukan mencoret. Daripada menghabiskan tenaga teriak dan lari-lari di jalan, mengobral nyawa dengan balapan tanpa helm, juga coret-coret seragam? Mending seragamnya disumbangkan ke yang membutuhkan atau dikasih ke adik atau sadudara saja. Terus keterampilan mencoret-coretnya dialihkan ke mengecat dinding. Lebih bermanfaat, kan?

Ah, sudahlah.

Tapi, melihat mereka yang ketawa-ketawa karena lulus saya jadi kepikiran sama teman-teman mereka yang tidak lulus. Semoga tidak ada. Maksudnya semoga mereka semua lulus. Saya tidak bisa ngebayangin bagaimana perasaan mereka yang tidak lulus melihat teman-teman mereka yang ketawa-ketawa bahagia merayakan kelulusan.

Kasihan.

Saya tahu bagaimana rasanya karena saya pernah berada di posisi itu. Tapi bukan karena tidak lulus ujian nasional. Saya tidak naik kelas. Tidak sama persis, sih, tapi masih sama-sama harus mengulang kembali di kelas yang sama, kan?

Itu terjadi saat saya masih SD dulu.

Jadi, dulu, ada sepupu perempuan kakek yang mengajar di SD di Sagawele. Nama beliau Piatu. Oleh orang-orang di Sagawele beliau dipanggil Encik Piatu, sementara saya memanggil beliau ‘Nene Guru’.  Nene Guru sering singgah di rumah Nenek saat sebelum ke sekolah ataupun saat pulang sekolah, jika melihat Nenek ada di serambi rumah. Saya pun cukup dekat dengan Nene Guru karena sering dibawa ke rumah beliau.  Karena itulah Nene Guru juga tahu kalau saat itu saya sudah bisa menghitung angka dari satu hingga seratus, sudah pandai menjumlahkan angka, bahkan sudah bisa membaca tanpa mengeja huruf. Padahal belum sekolah.

Suatu hari Nene Guru singgah di rumah dan mengajak saya untuk ikut ke sekolah.  Saya senang sekali saat itu. Saya masih ingat dengan jelas saat itu saya memakai sebuah celana pendek dan kemeja berwarna biru tua karena belum memiliki seragam sekolah. Rambut saya yang masih lurus - dulu - disisir ke samping. Saya membawa sebuah buku tulis tipis di tangan kanan dan sebuah pena di tangan kiri karena saat itu saya juga belum memiliki tas sekolah. Ya, namanya juga sekolah mendadak.

Sesampai di sekolah ‘Nene Guru’ membawa saya masuk ke dalam sebuah ruang kelas. Di depan anak-anak yang belum saya kenal satu pun saya disuruh menghitung dari angka 1 hingga angka sekian. Saya lalu menghitung.  Kemudian beliau menulis sesuatu di papan dan saya disuruh membacanya. Saya pun membacanya. ‘Nene Guru’ tersenyum lalu berkata pada anak-anak yang kurang lebih begini :
“Lihat. Dia belum sekolah tapi sudah tau membaca dan menghitung. Jadi pulang sekolah kalian jangan main terus. Harus belajar biar kayak dia…”

***    ***    ***

Semenjak hari itu, setiap pagi-pagi sekali saya sudah duduk di serambi rumah menunggu Nene Guru untuk ke sekolah. Tidak sabar untuk disuruh maju dan menghitung atau membaca sesuatu. Tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman baru. Juga tidak sabar untuk menceritakan apa saja yang saya lakukan di sekolah kepada orang rumah saat pulang sekolah. Sekolah bagi saya saat itu adalah tempat yang menyenangkan.

Singkat cerita. Setelah beberapa bulan sekolah dan setelah melewati ulangan tibalah saat pembagian raport. Kami yang biasanya duduk dengan teman sebangku kini harus duduk bersebelahan dengan orang tua kami. Hanya saya yang duduk sendiri karena orang tua wali saya saat itu adalah Nene Guru sendiri. Beberapa menit kemudian, nama saya dipanggil sebagai Juara Kelas. Saya saat itu tidak tahu apa artinya tapi saya pikir itu pasti sesuatu yang ‘bagus’ karena orang-orang bertepuk tangan setelah nama saya dipanggil.

Seusai pembagian raport. Saya  lalu pulang bersama Nenek Guru seperti biasanya. Saya tidak sabar menceritakan ke orang rumah kalau teman-teman dan orang tua-orang tua mereka bertepuk tangan saat nama saya dipanggil. Tapi sesampai di rumah, saat saya sibuk menceritakan pengalaman menyenangkan tadi, Nene Guru berkata pada Nenek:
“Alan Juara Kelas. Tapi belum bisa naik kelas karena umurnya belum cukup”

Belum naik kelas? Artinya saya masih di kelas 1 saat teman-teman saya yang lain sudah naik kelas 2? Setelah berdiam sejenak memikirkan arti dari kalimat Nene Guru saya membuang buku tulis saya ke lantai. Buku yang masih bersih dari tinta saat pertama kali saya diajak ke sekolah dan kini sudah hampir penuh dengan coretan-coretan huruf dan angka besar-besar seperti biji jagung itu di setiap kertasnya.

***    ***    ***

“Nenek, juara kelas itu artinya tinggal di kelas? Saya kan sudah bisa menghitung dari 1 sampai seratus. Terus sudah bisa membaca. Terus sudah bisa menulis. Masa tidak naik kelas? Teman-teman yang lain yang belum bisa, masa naik kelas?” Malam itu saya mengeluh pada nenek. Saya bilang ke nenek kalau saya tidak mau ke rumah Nene Guru lagi. Saya juga sudah tidak mau diajak ke sekolah lagi.

***     ***     ***

Bunyi klakson terdengar bersahutan di belakang saya. Nyaring sekali. Padahal masih lima detik lagi sebelum lampu merah berganti menjadi hijau. Saya cuek saja di depan. Sama dengan yang dilakukan Om-om berkacamata dengan motor king-nya yang berada di sebelah saya dan entah siapa yang di dalam mobil merah di samping ‘Om Kacamata’. Tapi meski cuek…
“Dasar manusia tidak sabaran…” Gerutu saya dalam hati. Geurut saya yang kedua kali.

Peringatan!  Jika kalian puasa maka jangan menggerutu seperti saya. Nilai puasa kalian dipastikan berkurang.

Saya, Om Kacamata’ dan entah siapa di mobil merah meng-gas kembali kendaraan kami setelah lampu berubah menjadi hijau. Rasanya seperti balapan saja. Dan saya kalah tentunya karena beberapa meter kemudian saya membiarkan mereka melaju sementara saya berhenti karena ingin membeli… Membeli… Membeli apa, ya?

Ah… lupa. Pulang saja, lah.

(R.I.P Nene Guru. Terima kasih telah mengajak saya ke sekolah dan telah menjadi encik saya selama di SD).


(Ditulis pada Rabu, 8 Mei 2019)

Comments

Popular posts from this blog

Home is My Favorite Word

  Salah satu kata favoritku dalam bahasa inggris adalah ‘home’ yang berarti rumah. Memang kata rumah dalam bahasa inggris bukan hanya ‘home’, ada ‘house’ juga. Yang menjadi pembeda, saat kita bilang ‘house’ maka artinya hanya sebatas ‘bangunan fisik’ yang kita tempati. Tidak lebih. Sedangkan saat kita bilang ‘home’ kita tidak hanya bicara tentang bangunan fisik, kita bicara tentang perasaan. ‘Home’ berarti perwujudan apapun yang membuat kita nyaman dan menemukan cinta. Maka itu bisa tempat, bangunan, atau bahkan orang. Selama kita merasa nyaman. Selama kita merasa aman. Selama kita merasa dicintai. Selama kita bisa menjadi diri kita sendiri tanpa khawatir dinilai. Selama kita bahagia. Maka tidak penting dalam bentuk apapun, itu adalah ‘home’. Ketika seseorang bilang ke kita “you are my home” atau “you feel like home to me”, bagiku itu adalah bentuk penghargaan tertinggi.

Kenangan

  Aku biasanya berbaring di sampingmu. Semenjak kecil. Mendengarkanmu bercerita banyak hal. Apa saja, termasuk keinginan-keinginan sederhanamu. Terlalu sederhana. Seperti saat kau memintaku untuk membelikanmu sebuah sandal yang nyaman untuk kau pakai di rumah. Kadang giliranmulah yang mendengarkan aku bercerita. Lebih tepatnya berkeluh kesah. Saat banyak hal menyakitkan terjadi. Saat hati sesak, penuh dengan beban. Mengobrol denganmu selalu menjadi obat. Saat jauhpun kita tidak pernah absen mengobrol. Saling menelepon menjadi rutinitas kita. Meskipun hanya beberapa menit. Kau bilang; “Yang penting kmalongo nik Alan ni suara do” Sekarang, hening. Tempat tidur yang biasanya kau tempati, di mana aku biasanya berbaring di sisimu, sekarang kosong. Kau tidak lagi di situ. Tidak ada lagi senandung-senandung kecilmu. Pun obrolan-obrolan kita. Aku tidak bisa lagi mendengarkan suaramu. Semesta memutuskan telepon kita. Padahal masih banyak yang ingin kuceritakan padamu, masih banyak yang ingi...

Review Jurnal - Etika Bisnis dan Profesi

PERAN PENTING ETIKA BISNIS BAGI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN INDONESIA DALAM BERSAING DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( https://www.jagakarsa.ac.id ) Jeffry H. Sinaulan (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tama Jagakarsa) DIREVIEW OLEH Fachran Nurdiansyah Arifin A.     LATAR BELAKANG Dengan berkembangnya dunia ekonomi tentunya pelaku ekonomi harus memerhatikan faktor-faktor terkait dengan perkembangan tersebut. Dalam perusahaan dibutuhkan perencanaan jangka panjang dan strategi yang tepat untuk dapat bersaing dalam persaingan global yang sangat ketat saat ini. Selain itu, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam perusahaan untuk dapat bersaing dalam perkembangan ekonomi saat ini adalah terkait dengan masalah “etika”. Etika sangatlah penting bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya juga dalam mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk yang dijual oleh perusahaan. Tentunya hal tersebut juga berpengaruh terhadap tingkat...