Skip to main content

SAGAWELE: Sepupu Ahli Pemetik Kelapa



Perkenalkan tiga sepupu saya dalam tulisan kali ini. Mereka adalah Ari, Aldi, dan Febi. Perkenalkan juga tokoh-tokoh lainnya ; Nenek, Bibi Atia, dan Nenek Jangki. Bibi Atia adalah Ibunya Ari dan Aldi. Saya bersepupu dengan mereka berdua karena Ayah mereka adalah kakak kandung Ibu saya. Sedangkan Nenek Jangki adalah neneknya Febi. Sebenarnya nenek kami juga, sih,  karena beliau masih sepupunya nenek. Dan itulah kenapa Febi juga masih sepupu saya. Sepupu ‘jauh’kata orang-orang.

Oke, mari tinggalkan dulu silsilah keluarga!

Suatu Minggu di musim hujan, saya dan ketiga sepupu saya diajak ikut bersama Nenek, Nenek Jangki, dan Bibi Atia ke kebun untuk menanam kasbi. Sebenarnya jika tidak hujan pagi itu, rencana awal kami adalah berangkat kurang lebih pukul 7.00. Namun begitulah, manusia hanya bisa merencanakan yang menentukan tetaplah Tuhan. Hujan mulai turun semenjak subuh dan baru berhenti sekitar pukul 8.00 lewat beberapa menit. Setelah itu barulah matahari mulai kelihatan. Sinarnya yang meski masih lemah cukup menjadi proklamasi kemerdekaannya dari awan-awan penjajah berseragam abu-abu, juga menjadi lampu hijau bagi kami untuk melanjutkan rencana. Maka berangkatlah kami sekitar pukul 9.00 pagi.

Karena kebun tempat kami akan menanam kasbi cukup dekat, yaitu di Bubane Lalo kami memutuskan untuk jalan kaki. Toh, jika memakai perahu mungkin akan tenggelam karena ada tujuh manusia yang menumpanginya. Meskipun tidak masalah jika tenggelam - karena kami semua bisa berenang tapi itu akan lebih merepotkan dan tentunya akan memakan waktu. Bisa-bisa esok hari baru sampai. Jadi, jalan kaki adalah pilihan terbaik. Tidak butuh sejam untuk sampai di kebun. “Lagian, pohon mangga di pinggiran jalan menuju kebun, buahnya pasti banyak yang berjatuhan di musim hujan seperti ini. Seru dong, berebut mencari buah mangga. Ah, pasti kami akan dapat banyak.” Itulah yang ada di pikiran kami, empat kurcaci yang sebenarnya tidak diajak ke kebun kamilah yang merengek minta ikut. Sialnya kami lupa bahwa saat itu tidak sedang musim mangga.

Setelah naik turun bukit, setelah melalui Sosolo, Bubane Kutu, dan Bubane Mastura, sampailah juga kami di Bubane Lalo. Perjuangan belum selesai karena kami masih harus melewati beberapa kebun warga sebelum sampai ke kebun tempat kami akan menanam kasbi. Dulunya adalah kebun Kakek dan Nenek. Setelah Kakek meninggal, kebun tersebut dialihtugaskan oleh Nenek kepada Ayahnya Ari dan Aldi. Hasil kebun itu biasanya dibagi dengan Nenek. Dan sudah jadi kebiasaan ketika ada keluarga yang menanam kasbi maka keluarga yang lain akan diajak serta atau ikut serta membantu. Nantinya saat giliran pihak yang membantu menjadi pihak yang menanam, maka pihak yang telah dibantu menjadi pihak yang membantu.
***    ***    ***
Singkat cerita, setelah sampai, mulailah ‘acara’ menanam kasbinya: menggali lubang di tanah beberapa senti ke dalam; meletakkan batang pohon kasbi yang telah dipotong dengan panjang kira-kira seukuran sejengkal orang dewasa ke dalam lubang galian; lalu menguburnya dengan tanah. Bibi Atia dan Ari bertugas menggali lubang-lubang yang dibuat berjarak satu sama lain, Nenek dan Nenek Jangki memotong batang pohon kasbi, sementara saya, Febi, dan Aldi bertugas mengisi batang-batang pohon kasbi yang telah dipotong ke dalam lubang galian lalu menutupnya dengan tanah yang kemudian  kami bentuk seperti gunung kecil. Beberapa jam kemudian hampir separuh kebun telah dipenuhi oleh gunung-gunung mungil  hasil kerja kami bersama. Mungkin fungsi gunung-gunung mungil itu tidak lain adalah untuk menandai area yang telah kami tanami batang kasbi. Begitulah pikir saya.

Ternyata tidak sia-sia juga kan, kami, empat kurcaci, dibawa ikut serta karena membantu mempercepat acara berkebunnya?

“Sepertinya sudah siang karena matahari sudah berada ‘di atas kepala’,”. Nenek bersuara setelah menengadahkan kepala mengecek matahari yang hanya terlihat seperti cincin bersinar di balik gumpalan awan yang bergelayutan di bawahnya. Itu adalah ilmu lokal untuk menentukan waktu ketika tidak ada jam. Saya dan ketiga sepupu saya lalu menghentikan pekerjaan tanpa pikir dua kali. Karena jika sudah siang maka itu artinya: waktu untuk makan. Waktunya menghabiskan makanan yang telah dibawa dari rumah. Saya beritahu suatu rahasia: makanan yang biasa kita santap di rumah rasanya jauh lebih nikmat ketika di santap di kebun.

Ah, ya, dan jauh lebih nikmat lagi jika minumannya adalah kelapa muda!

Kami semua setuju dengan itu. Maka atas perintah ketiga orang tua kami, pergilah kami, keempat kurcaci ke kebun Nenek Jangki yang letaknya tidak jauh dari tempat kami untuk memetik buah kelapa yang masih muda. Berjalanlah kami berempat beriringan seperti bebek, menapaki jalanan kebun yang masih basah. Sepertinya sinar matahari tidak memiliki kuasa mengeringkan tanah-tanah yang kami pijaki karena terhalang oleh aneka pepohonan di samping kiri kanan jalan. Embun-embun berguguran ketika kami tidak sengaja menyenggol dedaunan pohon-pohon kecil yang tumbuh berdesak-desakan di pinggiran jalan. Kami seperti artis yang ditunggui untuk dimintai tanda tangan oleh pohon-pohon kecil tersebut.

Dari depan Febi memimpin perjalanan karena dialah yang paling tahu betul letak kebun Nenek Jangki, lalu Aldi mengekor di belakang, disusul Ari, dan yang paling akhir saya. Kami berjalan sambil bercerita dengan topik apa saja yang melintas di pikiran kami. Tidak bisa diibaratkan seperti diskusi di sekolah. Sebenarnya. Tapi, kami punya moderator yang siap menengahi saat suara cempreng dan melengking kami yang bercerita seperti suara pesawat saat lepas landas mulai mengganggu telinganya. Bukan menengahi, memarahi lebih tepatnya. “Berisik sekali,” katanya. Dialah Ari, yang paling tua dari kami. Jika diurutkan sesuai usia: Ari, saya, Febi, dan yang paling mulda Aldi. Jadi, Ari di sini hanya memerankan tugasnya sebagai seorang kakak yang memarahi adik-adiknya. Dan kami bertiga, memerankan tugas kami sebagai adik-adik yang tetap berisik meskipun dimarahi.

Akhirnya, setelah habis beberapa topik obrolan kami, sampai juga kami di kebun Nenek Jangki. Tapi sepertinya ada yang aneh. “Tempat ini, bukankah tadi sudah kita lewati?” Tanya Ari. Benarlah. Ternyata, kami, karena keasyikan mengobrol tidak sadar telah dibawa Febi, si Pemimpin Jalan, mengitari kebun Nenek Jangki dua kali. Bahkan dia sendiri tidak menyadarinya. Febi masih memandang sekiling untuk memastikan bahwa perkataan Ari benar. Lalu setelah sadar dia tersenyum malu dan memasang tampang polosnya. Saya dan Aldi tertawa diikuti oleh Febi. Sementara Ari memasang tampang masam. Sepertinya dia jengkel. Tapi kami bertiga malah tambah tertawa melihat tampangnya. Beberapa detik kemudian karena terbawa suasana akhirnya dia juga ikut tertawa.

Puas tertawa, kami mencoba menemukan pohon kelapa yang dimaksud Nenek Jangki. “Lihat yang pendek dan bisa kalian panjat. Yang ada buahnya.” Seharusnya Nenek Jangki tidak menggunakan ‘kalian’ karena yang bisa memanjat pohon kelapa di antara kami berempat hanyalah: Ari. Jadi, pesan itu sebenarnya pesan untuk Ari. Dan ya iyalah Nenek Jangki, pohon kelapanya harus berbuah. Jika tidak berbuah kenapa juga harus dipanjat, coba?

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan pohon kelapa yang pendek, yang bisa dipanjat, dan tentunya berbuah. Sudah ada di depan kami beberapa pohon di antara pohon-pohon kelapa lain yang tinggi-tinggi. Pun jika seandainya tidak kami temukan yang pendek dan  berbuah, maka yang tinggi pun tidak masalah. Kami punya Ari, si ahli pemetik kelapa di antara kami. Dia kami andalkan.

Ari masih diam sebentar untuk memilih mana di antara beberapa kelapa yang telah memenuhi syarat yang disebutkan Nenek Jangki untuk dia panjat. Sepertinya dia menimbang-nimbang mana yang paling aman untuk dipanjat karena dia tahu bahwa pada musim hujan batang-batang pohon kelapa menjadi licin. Akhirnya setelah beberapa detik dia telah menentukan pohon kelapanya: pohon kelapa yang paling pendek di antara yang pendek.

 “Jangan berada di dekat sini nanti kena kepala kalian jika kelapanya saya jatuhkan. Dan jangan lupa ingat setiap tempat di mana kelapanya saya jatuhkan. Jangan mendekat sebelum saya bilang selesai.” Pesan Ari sebelum memanjat. Kami hanya mengiyakan apa yang dikatakan Ahli Pemetik Kelapa kami lalu segera menyingkir dari bawa pohon kelapa yang Ia panjat. Aldi dan Febi sibuk mencari kelapa tua yang jatuh di bawah pohon kelapa lain untuk dijual nanti sepulang dari kebun, sementara saya berdiri tidak jauh dari kelapa yang dipanjat Ari yang saya rasa cukup aman, sambil menulis-nulis di atas tanah menggunakan sebuah batang kayu.

“Bbuuk!” Suara kelapa pertama jatuh. Saya melihat ke arah datangnya suara tersebut dan berusaha untuk mengingat tempatnya.

“Satuuuuuu” Febi menyahuti suara jatuhnya kelapa pertama tadi. Sementara Aldi sibuk menyanyi sambil terus mencari buah kelapa tua.

“Bbuk!” Kelapa kedua jatuh diiringi suara Febi, “Duaaaa”. Saya segera menghafal tempatnya. Aldi masih sibuk menyanyi.

Sepertinya kami telah membagi tugas tanpa sadar; Ari bertugas menjatuhkan buah kelapa, saya bertugas mengingat tempatnya, Febi menyahuti tiap kelapa yang jatuh dengan hitungan, sementara Aldi…Aldi sibuk bernyanyi.

Tak lama kemudian jatuh kelapa keempat. Lalu disusul bunyi jatuhnya kelapa yang kelima.

“BBUUUKKKKK!”

“Liimaaaaaa” Teriak Febi.

Sepertinya kelapa yang kelima besar sekali karena bunyinya lebih besar dari keempat kelapa lainnya. Saya segera menoleh ke tempat jatuhnya kelapa tersebut dan ternyata…bukan kelapa melainkan tubuh seorang manusia. Si Ahli Pemetik Kelapa kami telah tergeletak di bawah pohon kelapa yang dia panjat.

“Febiiiiiii… Aldiiii… Ari jatuh dari pohon kelapaaaaaa” Teriak saya sambil berlari mendekat ke tubuh Ari. Febi dan Aldi segera berlari ke arah kami.

Saya berlutut di samping tubuh Ari yang terbaring. Matanya terpejam. Saya ketakutan. Begitu juga Febi dan Aldi yang berdiri di samping kiri kanan saya.

“Apa dia sudah mati?” Tanya Aldi dengan wajah polos. Saya yang mendengar pertanyaan Aldi tambah ketakutan.

“Ari… Ari…,” Saya mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi dia tetap tidak bereaksi sama sekali. “Ari, jangan mati dulu…” Kata saya dengan suara gemetaran. “Nanti kalau sudah sampai di tempat Nenek, Bibi Atia, dan Nenek jangki, atau nanti kalau sudah sampai di rumah saja, baru kamu boleh mati Ari. Jangan mati di sini…”

“Iya. Jangan mati di sini, Ari” Sahut Febi dan Aldi bersamaan.

Kami tidak sadar bahwa ternyata rasa takut kami bukan karena takut Ahli Pemetik Kelapa kami ini berpulang ke rahmatullah tetapi karena takut siapa yang akan membawa jasadnya. Kami bertiga memiliki tubuh yang terlalu kecil dan mungkin tidak akan sanggup membawanya sampai ke tempat Nenek, Bibi Atia, dan Nenek Jangki. Kami juga tidak tega meninggalkan jasadnya di bawah pohon kelapa sendiri untuk memanggil ketiga orang tua kami itu. Untuk membagi tugas ada yang menjaga dan yang lainnya memanggil ketiga orang tua kami pun kami takut. Jika hanya satu yang pergi untuk memanggil Nenek, Bibi Atia, dan Nenek Jangki, di antara kami tidak ada yang berani berjalan sendiri meskipun jaraknya cukup dekat. Jika dua yang pergi sementara yang satu menjagai jasadnya, lebih tidak berani lagi. Bagaimana jika tiba-tiba jasadnya Ari bangkit dan sudah berubah menjadi…

“Sudah…sudah… minggir,” Kata Febi. Saya segera menyingkir dan berdiri di samping Aldi. “Biar saya saja yang gendong, saya kuat” Kata Febi yakin. Tapi sebelum Febi menyentuh tubuhnya Ari, terdengar suara gelak tawa. Si Ahli Pemetik Kelapa kami itu ternyata belum mati. Kami semua terperanjat kaget. Dia masih terbaring sambil tertawa terbahak-bahak karena merasa berhasil mengerjai kami. Kami bertiga tidak jengkel, malah bersyukur karena tidak perlu repot dengan jasad orang mati. Kami pun ikut tertawa.

“Aduh…punggungku” Kata Ari yang masih tertawa sambil berusaha memegang punggungnya. Mendengar itu kami tidak peduli bahkan tidak membantunya untuk bangun. Yang terpenting bagi kami adalah tidak ada jasad yang perlu diurus karena dia belum mati. Ralat: meninggal. Kami bertiga berusaha menemukan kelapa muda yang dia petik sementara dia berusaha bangun. Lalu setelah berhasil menemukannya kami berkumpul lagi.

“Cuma ada empat kelapa muda, berarti masih butuh tiga. Kita kan ada tujuh orang?” Kata Aldi. Wajahnya melihat ke Ari diikuti oleh saya dan Febi. Tanpa dikatakan pun Ari sudah mengerti arti pandangan kami. “Tidak… tidak. Saya tidak mau panjat lagi. Pohon kelapanya licin. Kalau mau kalian saja.” Katanya sambil berusaha mengelus bagian punggungnya. Kami bertiga saling pandang mendengar perkataannya. Tidak ada yang bisa memanjat pohon kelapa dan tidak ada yang berani mencoba setelah melihat Ahli Pemetik Kelapa kami terjatuh. Jadi, mau tidak mau kami hanya bisa membawakan empat kelapa kembali ke ketiga orang tua kami. Saya, Febi, dan Aldi memunguti empat buah kelapa yang telah kami kumpulkan tadi.  Febi dan Aldi masing-masing mengambil satu dan saya mengambil dua sekaligus untuk dibawa setelah melihat Ari yang berdiri dengan wajah yang ‘kasihan’. “Sungguh adik-adik yang tidak pengertian dan jahat. Sudah jatuh begini masih disuruh untuk memanjat lagi.” Mungkin itu yang dipikirkan olehnya.

Seperti sebelumnya, kami berjalan beriringan lagi seperti bebek. Tapi yang memimpin jalan bukan lagi Febi. Ari berada di depan, Aldi masih tetap di barisan kedua, diikuti saya, dan yang paling belakang ada Febi. Dalam perjalanan saat hanya suara pijak kaki kami dan suara burung-burung yang terdengar di pepohonan di pinggiran jalan, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara lain yang tidak lain adalah suara tawanya Aldi. Ari berhenti dan berbalik belakang untuk memastikan apa yang ditertawakan Aldi. Begitu pun saya dan Febi, kami penasaran kenapa dia tertawa. Aldi masih tetap tertawa. Tambah keras tawanya saat melihat Ari berbalik badan. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan oleh tawanya sendiri. Tangan kirinya menunjuk ke Ari sembari masih tertawa untuk memberi isyarat apa yang sedang Ia tertawakan. Sepertinya Ia teringat momen saat Ari jatuh, saat kami memohon agar Ari jangan meninggal dulu, Ia boleh meninggal saat kami sudah sampai di kampong. Kami bertiga mengerti. Saya dan Febi ikutan tertawa, keras seperti tawa Aldi. Sedetik kemudian yang ditertawakan pun ikut tertawa. Siapa lagi kalau bukan kakak kami, Ahli Pemetik Kelapa kami, Ari.

Kami melanjutkan perjalanan setelah tawa kami mereda. Namun di sepanjang jalan kami masih sesekali tertawa mengingat apa yang terjadi di bawah pohon kelapa pendek itu. Hingga akhirnya sampai di kebun kami pun, kami masih tertawa. Membuat Nenek, Bibi Atia, dan Nenek Jangki keheranan. Dan setelah kami ceritakan, ketiga orang tua kami juga ikutan tertawa. Bahkan mereka lupa menanyakan apakah punggung Ari baik-baik saja setelah jatuh. Baru setelah puas tertawa mereka menanyakannya. Kata Ari, pohon kelapanya pendek jadi punggungnya tidak terlalu sakit. “Untunglah,” katanya sendiri. Mendengar itu malah membuat ketiga orang tua kami tertawa lagi.
***     ***     ***
Siang yang tidak panas itu, kami bertujuh menyantap makanan kami dengan lahap. Karena hanya ada empat kelapa muda sudah pasti kami berempat, kurcaci-kurcaci yang menghabiskannya. Nikmat sekali makan bersama di bawah pepohonan ditemani suara burung dan suara dedaunan ditiup angin.

Setelah menghabiskan makanan, kami beristirahat sebentar. Namun, karena kelelahan, kami, para kurcaci tertidur dengan pulas.  Akhirnya yang  melanjutkan menanam kasbi adalah ketiga orang tua kami. Saat selesai barulah kami dibangunkan untuk pulang.

Di perjalanan pulang, cerita tentang kejadian di bawah pohon kelapa masih menjadi bahan tertawaan kami. Saya, Febi, dan Aldi sudah tidak sabar untuk menceritakannya kepada orang rumah, teman-teman sekolah, teman-teman mengaji, teman-teman kompleks, dan kepada siapapun.

***    ***    ***
Dan sekarang cerita ini telah sampai ke kalian.

Meskipun sudah berlangsung lama sekali kejadian tersebut yaitu saat kami masih SD, saya masih tertawa setiap kali mengenangnya.


Comments

Popular posts from this blog

Ada Apa Dengan Diskon? (AADD)

Siapa hayoo yg kalo dengar kata diskon gendang telinganya besar matanya melotot? Disadari atau nggak, kata diskon merupakan jurus ampuh yg selalu bisa membuat jualan laku. Percaya deh, kalau ada kata diskon terpampang pasti banyak orang yg bakalan menyerbu. Sebenarnya sih diskon itu cuman strategi pemasaran yg digunain penjual untuk mengelabui konsumen. Iya? Setidaknya, ada dua strategi diskon (lebih tepatnya sih pemalsuan diskon wkwkwk) yg biasa digunakan oleh penjual untuk membuat barangnya laku. Pertama, diskon diberikan hanya untuk produk yang merupakan barang lama yg gak laku. Namanya barang lama daripada gak laku terus gitu menuhin gudang mending dijual dengan harga murah (diberi potongan harga) biar bisa diganti dengan produk baru yg lebih trendi. Kedua, terkadang sebelum didiskon, harga dinaikkan terlebih dahulu. Jadi misalnya ada barang dengan harga sebenarnya Rp.100.000, nah dinaikkan nih oleh si penjual menjadi Rp.200.000 terus diberi diskon 50%. Paham ka

South Halmahera Regency

From Wikipedia, the free encyclopedia (https://en.wikipedia.org/wiki/South_Halmahera_Regency) South Halmahera Regency Regency Seal Country   Indonesia Province North Maluku Island Halmahera Capital Labuha Area  • Total 8,892 km 2 (3,433 sq mi) Population (2010)  • Total 198,911 Time zone WIT ( UTC+9 ) Website http://www.halselkab.go.id South Halmahera Regency or Halmahera Selatan is a regency of North Maluku Province, Indonesia . It lies partly on Halmahera Island and partly on smaller islands to the west and south of Halmahera. As of 2010 it had a population of 198,911 people. [ 1 ] The capital lies at Labuha on Bacan Island. Islands It is home to a number of archipelagoes and islands. Among them: Obi Islands , including Obira (main), Bisa, Obilatu and other small islands, comprising in all 5 kecamatan with 41,455 people at the 2010 census. Bacan Islands , including: Bacan I

Review Jurnal Manajemen Strategi

Judul               : Analisis SWOT dalam Menentukan Strategi Pemasaran Sepeda Motor    pada PT. Samekarindo Indah di Samarinda Sumber            : eJournalAdministrasiBisnis 2013, 1 (1): 56-70                           ISSN 0000-0000, ejournal.adbisnis.fisip-unmul.org                           @copyright2013 Penulis             : Nur Afrilita T. Reviewer         : Fachran Nurdiansyah Arifin PENDAHULUAN             PT. Samekarindo Indah adalah perusahaan yang bergerak dalam penjualan kendaraan Suzuki dan merupakan Main Dealer Suzuki (distributor utama) yang ditunjuk oleh PT. Indomobil selaku ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Suzuki untuk wilayah penjualan Kalimantan Timur khususnya di wilayah Samarinda. Selain melayani penjualan kendaraan Suzuki, PT. Samekarindo Indah memberikan pelayanan seperti servis serta menyediakan suku cadang bagi kendaraan Suzuki. Dalam hal sepeda motor, realisasi pengadaan dan pemasaran sepeda motor Suzuki mengalami fluktuasi pangsa pas